AL-MUJAHID

Biografi
Samir Saleh Abdullah Al-Suwailem lebih dikenal dengan nama Ibn Khatab karena kekagumannya pada sosok khalifah, Umar bin Khattab RA. Ia lahir di Arar, kota perbatasan utara Arab Saudi pada 1969. Ayahnya berasal dari Saudi dan Ibunya berdarah Turki. Khattab memiliki 8 saudara dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup berada serta terpelajar, dikenal sebagai pemuda yang berani dan kuat. Di sekolah ia pun termasuk anak yang cerdas.
Khattab pergi ke Amerika pada 1987 saat berumur 17 tahun untuk melanjutkan sekolahnya. Namun beberapa tahun kemudian ia terlihat di antara sukarelawan Arab di Afganistan. Tahun 1987 adalah puncak jihad Afganistan melawan Uni Sovyet, di mana pemuda dari belahan negara muslim dunia berbondong-bondong datang ke Afganistan menyambut seruan jihad dari tokoh Islam seperti Sheikh Abdullah Azzam (dibunuh/ 1989), Sheikh Tamim Adnani (meninggal/  1988) dan Usama bin Ladin.
Prestasi gemilang dan aksi heroik para pejuang Muslim melawan negara-negara adidaya menyulut gelora jihad umat muslim lainnya tak terkecuali Khattab. Ia memutuskan ikut berjihad untuk pertamakalinya ke Afganistan (1987).

Jihad Afganistan
Khattab menuntaskan latihannya di kamp dekat Jalalabad dan berdiri di garis depan. Salah seorang pelatihnya adalah Hassan As-Sarehi, Komandan Operasi Sarang Singa di Jaji, yang terkenal itu. Enam tahun kemudian, Khattab telah menjadi salah satu mujahid yang diperhitungkan dunia. Ia terkenal berani membuka konfrontasi langsung dan pantang menunjukkan rasa sakit saat terluka. Ia muncul di tiap operasi besar di Afganistan (1988-1993) termasuk perebutan Jalalabad, Khost dan kabul.
Khattab kehilangan dua jemari tangan kanannya saat berniat melempar granat rakitan Sejak itu ia tak pernah melepaskan sarung tangannya.

Jihad Tajikistan
Saat Soviet mundur dari Afganistan dan komunis berhasil dikalahkan para Mujahid, Khattab bersama sekelompok kecil teman berangkat ke Tajikistan (1993) setelah mendengar peperangan yang sedang terjadi di sana melawan musuh yang sama. Dua tahun mereka menetap di sana memerangi Rusia di tengah salju di daerah  pegunungan berbekal persenjatan dan amunisi yang sangat terbatas.
Bersama pasukannya, Khattab kembali ke Afganistan di awal 1995. Saat itu perang Chechnya baru dimulai dengan warga yang dihinggapi kebimbangan memposisikan antara  agama dan perang.

Jihad Chechnya
Khattab tergerak ke Chechnya saat menyaksikan siaran televisi yang memperlihatkan sekelompok orang Chechnya memakai ikat kepala bertuliskan syahadat dan meneriakkan takbir. Ia berhasil masuk Chechnya dengan menjadi reporter televisi. Kefasihannya berbahasa Arab, Rusia, Inggris dan Pashtu membantunya mudah berinteraksi. Bersama teman-temannya sesama mujahid Afganistan, kelompok beranggotakan 8 orang ini sampai di Chechnya pada musim semi 1995. Kelompok Khattab tak hanya melatih penduduk Chechnya tapi juga mujahid yang bergabung dari negara lain. Saat itu sedang bergejolak perang Chechnya yang pertama.
Khattab bertemu Shamil Basayev, seorang pemimpin pejuang Chechnya. Bersama Basayev, Khattab yang menyandang posisi Panglima Pasukan Islam Dagestan, memperjuangkan pendirian negara Islam di Chechnya.

Rangkaian Serangan
Satu operasi penyerangan gemilang saat penyergapan di Shatoi pada 16 April 1996 di mana ia memimpin 50 orang mujahidin menghancurkan satu konvoi pasukan berkendara Rusia yang sedang meninggalkan Chechnya. Sumber resmi militer Rusia mengungkapkan 223 tentara Rusia terbunuh termasuk 23 pejabat tingginya dan menghancurkan seluruh kendaraan pasukan. Lima mujahidin mati syahid dalam operasi tersebut. Boris Yeltsin harus membawa kasus penyerangan itu ke parlemen.
Beberapa bulan kemudian, pasukan Khattab menyerang sebuah barak militer Rusia, menghancurkan helikopter-helikopter tempur dengan tank. Satu pasukannya juga bergabung bersama operasi penyerangan Grozny yang dipimpin Basayev pada Agustus 1996.
Khattab muncul pada 22 Desember 1997, menggerakkan satu pasukan berjumlah 100 orang mujahidin Chechnya dan negara lain, masuk ke daerah Rusia dan menyerang markas-markas Brigadir motor tempur militer Rusia. Penyerangan ini mengakibatkan 300 kendaraan hancur dan banyak tentara Rusia yang tewas. Dua mujahidin mati syahid termasuk seorang komando senior Afganistan, Abu Bakar Aqidah.  Seluruh pasukan Rusia mundur dari Chechnya pada musim gugur 1996. Ini adalah sebagian penyerangan dari sejumlah operasi yang berhasil memukul mundur Rusia di Chechnya (Khartashoi, 1995; Shatoi, 1996; Yashmardy, 1996) dan dalam daerah Rusia sendiri (Dagestan, 1997 hingga 1999).
Saat perang Chechnya II, pada 29 Pebruari 2000 Khattab mengutus pasukan di bawah komando Amir Abu al-Walid menyerang pasukan parasut Rusia. Sebanyak 86 prajurit Rusia tewas. Pada 29 Maret 2000, Khattab menghabisi 34 pasukan elite Rusia OMON yang berkonvoi, sebanyak 9 tentara ditawan lalu dieksekusi.

Taktik Media
Khattab pernah mengatakan: “Allah memerintahkan kita memerangi orang kafir dengan apa yang mereka perangi terhadap kita. Mereka memerangi  kita dengan media dan propaganda, jadi kita harus memerangi mereka juga dengan media kita.” Karena itu ia selalu memfilmkan tiap orang dan tiap operasi penyerangannya. Khattab memiliki perpustakaan berisi ratusan video  mulai dari pertempurannya di Afganistan, Tajikistan dan Chechnya. Ia yakin kata-kata saja belum cukup  menjawab tuduhan palsu media-media musuh, juga harus dibuktikan dengan rekaman video. Ia sempat mengabadikan penghancuran pasukan Rusia dalam operasi Dagestan pada Agustus 1999 yang menunjukkan ratusan mayat-mayat tentara Rusia, beberapa kali lipat banyaknya dari jumlah laporan resmi militer Rusia yang hanya menyebutkan 40 tentara tewas.

Pemimpin alami
Khattab sering disebut-sebut sebagai Khalid bin Walid masa kini. Ia yakin sepenuhnya bahwa ajal akan datang menjemput bila sudah waktunya, tidak terlambat atau lebih satu menit pun. Ia berhasil lolos dari beberapa usaha pembunuhan. Yang paling nyaris adalah saat truk besar Rusia yang dikendarainya dibom pasukan Rusia. Truk tersebut hancur berkeping-keping namun Khattab selamat tanpa luka segores pun.
Di balik aksi garangnya di medan jihad, Khattab begitu perhatian pada anak buahnya. Ia juga selalu memastikan penduduk sipil tidak terganggu dan terluka. Tidak seperti sebagian besar tokoh tokoh pejuang Arab yang sarat pengetahuan religius atau kaum intelektual, Khatab hanya seorang pemimpin alami yang mengikuti kata hatinya. Ia memiliki satu tim calon pemimpin yang sangat terlatih dan mampu menggantikannya bila ia terbunuh.

Pembunuhan licik
Kontak terakhir Khattab dengan keluarganya, tiga bulan sebelum wafat 19 Maret 2002. Ia hanya mengunjungi Arab Saudi dua kali sejak jihad Afganistan. Khattab tewas akibat menghirup gas beracun dari surat yang disusupi Rusia’s Federal Security Service. Menurut pakar racun Moskow dan London, amplop surat tersebut kemungkinan telah disemprot neurotoksin yang menyerap ke tubuh melalui kulit dan dengan cepat menyebabkan serangan jantung atau susah bernapas. Orang yang paling dicurigai bertanggung jawab atas pengkhianatan itu adalah Ibrahim Alauri, teman terdekatnya. Khattab disebutkan menikahi seorang wanita Dagestan dan memiliki tiga orang anak.
Media kafir telah menciptakan figur Khattab sebagai seorang teroris. Namun di mata para pejuang Allah dan sebagian besar umat muslim seluruh dunia, ia adalah salah seorang pemimpin yang berani melawan cengkeraman kuku-kuku imperialisme dan inspirasi bagi siapapun yang membela agama Allah.



-->
Biography
ASYAHID IMAM SAMUDRA


Biografi Setengah Hati
Menulis biografi adalah pekerjaan yang sangat aku tidak suka. Ketika SD aku paling tidak suka mengisi buku diary yang biasanya meminta semacam biodata, kata mutiara, dan sejenisnya. Apalagi setelah aku dewasa. Apalagi setelah aku mengerti arti sebuah perjuangan menegakkan kalimah Allah yang menuntut betapa pentingnya menjaga sebuah rahasia. Maka bografi adalah salah satu perkara yang sangat aku hindari.

Jika kini aku menulis biografi, itu karena drakula bin monster Amerika dan sekutunya terlanjur mengetahui nama kecil dan sebagian masa laluku. Meski demikian, dalam penulisan biografi setengah hati ini, akan tetap kuhindari hal-hal yang kukhawatirkan akan membatalkan pahala di sisi Allah kelak –naudzu billahi mindzalik.

Karena menyebut-nyebut kebaikan sendiri di hadapan manusia hanya akan membatalkan pahala. Memang, segala amal itu tergantung pada niat. Tetapi sungguh, menjaga niat itu bukanlah perkara yang mudah. La hawla wala quwwata illa billah.

Seandainya tidak kuingat ayat di atas, dan demi kepentingan pertanggungjawaban seluruh tulisan dalam buku ini, niscaya tak akan kutuliskan biografi setengah hati ini. Siapapun yang ditakdirkan Allah membaca biografi ini, ia tidak akanmendapati apa-apa selain ketidakpuasan atau malah kebosanan. Wallahu a’lam.

Kepada mereka yang sempat bertemu denganku dan mengetahui aib dan atau dosa-dosaku, kukatakan, “Sesungguhnya mereka hanya mengetahui setitik aib dan secuil lautan dosa-dosa yang telah kuperuat. Dan hanya aku dan Allah yang tahu. Semoga Allah Yang Maha Mengampuni menghapuskan segala dosa-dosaku, yang disengaja ataupun tidak, yang nampak dan yang tak nampak.” Amien.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al Hujurat:13).

Childhood
Dengan takdir Allah, di sebuah kota kecil ibukota kabupaten Serang, Kecamatan Serang (sekarang provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT O4/ RW 01, jalan Sema’un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971 aku dilahirkan. Akhmad Syihabuddin bin Nakha’i itu nama ayahku. Sedangkan ibuku bernama Embay Badriyah binti Sam’un.

Kedua orangtuaku –Allahummaghfirlie wa-liwalidayya war-hamhuma kama rabbayanie shaghira– memberiku nama Abdul Aziz. Alhamdulillah, nama yang bagus. Artinya, hamba Allah Yang Mulia. Kalau tidak salah, nama itu sama dengan nama Raja Saudi Arabia waktu itu: Abdul Aziz bin Faishal.

Kedua orangtuaku asli Banten. Dari garis ayah, kakekku (M. Nakha’i) adalah seorang juragan besar pada zamannya. Beliau seorang yang ta’at beribadah. Ia selalu mengenakan topi haji, atau peci hitam. Pertama kali beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun. Itu kuketahui, karena ketika dalam perjalanan menuju masjid, kakek yang mengenakan jas dan sarung berikat pinggang serta terompah kulit dan membawa tongkat seperti Bung Karno itu, ditanya oleh beberapa orang yang berpapasan, “Berapa umur cucunya ini?” lalu kudengar beliau menjawab, “Empat tahun.”

Terakhir kali aku hidup bersama kakek pada sekitar kelas dua SD sepulang sekolah. Waktu itu aku mengenakan T-Shirt Argentina 78. Ayah, ibuku, dan sanak keluarga lainnya pergi ke rumah sakit Serang dengan mengendarai mobil colt bertulis NASIA (Nakha’i dan Asiah), nama perusahaan milik Kakek. Aku ingat persis nenekku (Asiah) dan seluruh perempuan termasuk Ibu dan Bibi serta Uwak menangis begitu tahu Kakek meninggal dunia. Allah Yarham. Inna lillahi wa-inna ilayhi Raji'un.

Alhamdulillah, dengan segala kekurangannya, beliau ketika itu sebagai sosok tukang ngaji dan tukang adzan. Masa itu uwak Safiyuddin, Imam masjid Ust. Suruji, Kyai Mahmud, Ust. Turmudzi, Ust. Asrul, masih terbilang saudara dari garis nenek dan kakek. Sehingga aku tidak terlalu sungkan untuk datang sendiri ke masjid setelah kakek meninggal, sekalipun tidak rutin lima waktu.


Cicit ke-3 dari seorang Ulama’ Mujahid Fi Sabilillah
Dari garis ibu, Alhamdulillah, aku masih kecipratan turunan darah mujahid, sekaligus Ulama'. Ulama' sekaligus mujahid. Yang kumaksud adalah Ki (Kyai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda yang beragama Kristen.

Pada Senin, 9Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa “Geger Cilegon”. Jihad fi sablillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid. Dalam beberapa masa kemudian, beliau ditangkap Belanda karena adanya pengkhianatan dari kalangan dalam sendiri. Sejarah lengkapnya aku kurang begitu menguasai. Tetapi yang jelas, jika dirunut, ternyata aku termasuk dalam urutan cicit ke-3 dari Ki Wasyid –rahimahullah.

Alonumen jihad beliau diabadikan berupa patung lelaki berjubah lengkap dengan senjatanya, di tengah kota Serang, ibukota provinsi Banten sekarang. Sejarahwan barangkali menyebutnya sebagai "Pahlawan Nasional", tetapi aku menyebutnya sebagai Ulama Mujahid Fi Sabilillah. Semoga Allah menerima amal shaleh beliau •

SD vs Ibtida’iyyah
Sebelum sekolah, aku agak susah membedakan antara amco dan maco. Kebiasaan nonton tv 14” hitam putih di rumah kakek bersama kakak sepupu, membantuku dapat membaca sebelum sekolah. Tetapi yang paling kuat pengaruhnya ialah karena aku sering duduk di sebelah kakek yang acap kali membawa tumpukan surat bertuliskan “Toko Setudju”, “Bon Kontan” –yang agak unik bentuknya ialah kertas mirip uang bertuliskan “Saham Obligasi”. Dan yang sampai kini aku belum mengerti cara menggunakannya ialah benda terdiri dari ‘roda-roda’ kecil terbuat dari kayu keras yang disebut ijiran cina. Alat ini biasa dipakai kakek untuk menghitung. Kadang-kadang beliau gunakan juga untuk menggelitik badanku yang agak kurus. Dia akan terbahak saat aku kegelian.

1978. Menjelang Zhuhur, aku sempat bertanya, “Gimana, bah, sekolah saya, jadi nggak?” Aku benar-benar kecewa saat kudengar, “Pak Matori bilang, kamu belum cukup umur.” Lalu aku ngotot kalau aku sudah bisa baca. Aku benar-benar merengek ingin sekolah. Akhirnya, beberapa hari kemudian, ayah membawaku ke sebuah sekolah yang waktu itu disebut SD IX. Di sana, aku dipertemukan dengan seorang yang kemudian kukenal sebagai Pak Matori, Kepala Sekolah SD tersebut.

Setelah ditanya, aku diminta melingkarkan tangan kananku di atas kepala dan menyentuh telinga kiri. Kemudian beliau menunjuk kursi kayu coklat bertuliskan SD IX warna putih. Ketika disuruh membaca, dengan cepat aku menyebut, Es De -iX (iks)!”. Kontan beliau tergelak begitu juga ayahku. Dua hari setelah itu, Senin, aku resmi jadi murid kelas I SDN 9 Serang.

Pada tahun yang sama, aku telah duduk di kelas dua Madrasah Ibtida’iyyah Al Khairiyyah Serang. Sekolah Agama yang dimulai pukul 14.00 hingga 17.00 WIB itu, memang peraturannya tidak terlalu ketat. Apalagi asatidz (para pengajar)nya adalah saudara dan tetanggaku sendiri. Suasananya memang agak membosankan. Mulai dari bangku, kursi, dan meja tua yang telah dimakan rayap, buku absensi yang lusuh, disiplin yang amburadul sampai pengajar yang terkesan memanfaatkan ‘sisa umur’ dan ‘tenaga sisa’ setelah bekerja di pagi hari. Yah, daripada tidak.

Pergaulanku dengan teman-teman SD berpengaruh besar pada pendidikan ibtida’iyyahku. Dari sekitar 40 murid, tak sampai 10 orang yang belajar di ibtida’iyyah. Memprihatinkan memang. Sejak saat itu, aku mulai ‘ngadat’ malas ke madrasah. Jika sebelumnya pukul 14.00 WIB aku sudah di madrasah, maka kebiasaan baik itu kemudian berubah. Aku lebih suka nonton TV di rumah kawan baru atau jalan-jalan ke alun-alun Serang tanpa sepengetahuan orang tua. Bad habitual itu terus berjalan selama setahun, sehingga akhirnya raport ibtida’iyyahku berangka merah, alias blank. Walhasil tidak naik kelas.

Sepertinya, orangtuaku memahami keadaanku. Mereka tidak marah. Begitu aku menginjak kelas dua SD, terutama ibuku memberi warning dan nasihat agar kembali masuk madrasah. Otomatis sejak pukul 07.00 hingga 17.00 WIB, dipotong shalat Dzuhur hingga 14.00 WIB, aku full belajar. Secara umum, mereka yang di madrasah baru kelas satu, maka di sekolah luar telah menginjak kelas dua ke atas. Bahkan pada saat aku kelas empat ibtida’iyyah, ada di antara kawanku yang telah duduk di kelas III SMP.

Kelas I-II SD kujalani. Sekolah enjoy, biasa-biasa saja. Waktu itu aku belum mengerti apa itu rangking, apa itu angka merah. Hanya yang tidak pernah kulupakan sampai saat ini, jika tiba giliran pelajaran membaca, aku dan dua orang teman sekelasku disuruh keluar dan diberi buku bacaan tersendiri. Kadang-kadang kami disuruh ke perpustakaan. Rupanya Bu Guru tahu kalau aku ‘bosan’ membaca dan menulis “Ini Budi.., itu bukan..” Berulang-ulang.

Kejadian yang terus berulang itu akhirnya kusampaikan pada ibuku. Beliau nampak tersenyum senang. Waktu itulah pertama kali aku mendengar ibu berkata, “Kakak-kakakmu bintang pelajar, kamu harus seperti mereka.” Aku begitu tertarik saat ibu menceritakan bahwa kakakku sering menerima hadiah buku tulis dan perlengkapan sekolah dari sekolahnya. Saat kutanya bagaimana caranya jadi bintang pelajar dan mendapatkan hadiah itu, ibuku hanya bilang, “Rajin-rajin belajar.”

Sebenarnya, tidak ada bedanya bagiku rajin belajar atau pun tidak. Bahkan saat itu, aku memahami rajin belajar sebatas rajin sekolah. Rasanya tidak ada bedanya mengulang kembali pelajaran di rumah ataupun tidak. Toh saat ulangan harian, atau ujian kenaikan kelas, nilai yang didapat tetap sama. Dan, Alhamdulillah, selalu dapat juara kelas. Saingannya paling juga anak pak Penilik Sekolah yang berkantor di Depdikbud. Ia sering mendapat rangking satu.

Di antara pelajaran (bidang studi) yang diajarkan, yang paling kugemari adalah matematika dan IPA. Selebihnya, kuanggap sebagai pelengkap saja. Kalau boleh kubilang, aku membaca 80% buku-buku perpustakaan sekolah, surat kabar, dan majalah. Sedangkan buku-buku pelajaran hanya 20%.

***

“Buldozer” pendidikan sekuler memang terlalu kuat, sehingga sanggup menggusur pendidikan dien (agama). Sejak kelas IV aktivitas SD-ku makin meningkat. Aku harus ikut lomba matematika, lomba catur, lomba puisi, lomba mengarang, dan macam-macam lomba lain yang memerlukan waktu ekstra di luar jam sekolah SD. Anak kecil seusia itu, siapa sih yang tak senang diajak jalan-jalan keluar sekolah oleh Pak Guru untuk ikut perlombaan? Apalagi dikasih makan nasi Padang dan kalau pulang dapat uang saku. Melihat kenyataan ini, kedua orangtuaku tak berkutik. Aku cuma membatin, “Apakah ini yang dimaksud ibu sebagai bintang pelajar?”

Seperti kubilang tadi, akhirnya ibtida’iyyah tergusur. Aku berhenti. Waktu itu aku belum mengerti bahwa sebenarnya hal itu merupakan musibah. Kelas V SD lebih seru lagi. Kali ini aku mewakili sekolah untuk mengikuti pemilihan pelajar teladan mulai tingkat kecamatan, sampai kabupaten. Ada rasa kebanggaan tersendiri, saat upacara Senin pagi, wali kelasku mengumumkan di depan murid-murid dan guru bahwa aku berhasil menjadi pemenang dengan meraih angka 8 (delapan) untuk studi matematika. Nilai itu merupakan angka tertinggi. Untuk mata pelajaran lainnya tak aneh mendapat nilai di atas itu. Alhamdulillah.

Sebagai pelajar SD ‘ultranasionalis’ (Ciyaa..), tak aneh kalau aku dan Tim Sekolah memenangkan cerdas-cermat P4 tingkat kecamatan (lumayan…). Di tingkat kabupaten kami tumbang, Alhamdulillah. Bayangkan kalau menang sampai tingkat kabupaten, terus tingkat provinsi, terus nasional, mungkin sekarang aku jadi pengacaranya Edi Tansil, atau Sofyan Wanandi. Bisa juga menjadi Hakim Ketua yang memvonis ‘hukum mati’ untuk Theo Syafi’i, atau malahan menjadi hakim ketua untuk sidang kasus bom Bali, dan yang jadi tersangka pasti TPM…

Lagi-lagi, aku dikirim mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Seperti biasa, untuk putra, aku ditakdirkan menang tingkat kecamatan sehingga kemudian maju ke tingkat Kabupaten. Waktu itu seingatku utusan putri dari sekolahku kalah tipis. Yang terpilih sebagai pemenang putri malah dari sekolah lain. Siapa dia? (berhubung sudah 23.15 WITA dan aku sudah mengantuk, jadi mendingan tidur dulu deh... he he he...

***
Rupanya pemenang putri itu dari sekolah ‘musuh’-ku, musuh dalam segala perlombaan. Ia dari SD 2 Serang. SD 2 Serang memang musuh bebuyutan dengan SD kami. Tapi yang jelas predikat SD teladan, sudah disapu oleh sekolahku. Kelak ‘sang Putri’ ini bertemu di eS-eM-Pe. Tak disangka.

Adalah karunia Allah yang sangat-sangat-sangat besar jika sejak empat tahun aku dikenalkan masjid –Alhamdulillah– sehingga dalam kesibukan sekolah seperti apapun aku tidak bisa meninggalkan shalat. Inilah barangkali yang akhirnya memanggil nuraniku untuk kembali ke ibtida’iyyah. Aku harus duduk di kelas IV ibtida’iyyah. Di sini aku mulai menyukai pelajaran bahasa Arab dan hadits. Aku sangat senang saat ustadz Asma’i menyuruhku membaca sekaligus menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Beliau yang juga tetanggaku dan masih saudara jauh, dalam sebulan mengajar empat kali; dua kali bahasa Arab dan dua kali hadits.

Minggu pertama, bahasa Arab teori. Beliau membacakan bahasa Arab kemudian menerjemahkan. Murid-murid mendengarkan. Baru pada pertemuan berikutnya, setiap murid disuruh membaca dan menerjemahkan.

Minggu ketiga, beliau menuliskan hadits sekaligus menerjemahkan. Kemudian beliau menerangkan kandungannya. Seluruh murid wajib menulis tulisannya. Minggu berikutnya beliau khususkan untuk hafalan hadits yang minggu ini beliau tuliskan minggu sebelumnya. Murid yang sudah setor hafalan pada pertemuan itu, tidak punya kewajiban untuk hafalan pada pertemuan berikutnya.

Kebiasaan Pak Ustadz yang kuhafal itu rupanya memancing kebiasaan burukku. Aku memang memiliki kebiasaan kurang bagus waktu itu. Cepat bosan mendengarkan keterangan pelajaran secara formal, bahkan tidak tertarik sama sekali. Sepertinya, aku lebih suka membaca sendiri daripada mendengar guru menerangkan pelajaran. Toh hasilnya sama. Kalaupun aku mendengar dan memperhatikan Sang Guru di depan kelas, itu karena aku manjalankan kewajiban seorang murid untuk menghormati ustadz dan guru. Dan itu akan mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu juga melatih seseorang untuk tidak sombong alias takabur.

Dari empat pertemuan dengan ustadz Asma’i, seterusnya aku lebih sering menghadiri dua kali pertemuan saja; pertemuan kedua dan ketiga. Pertemuan pertama dan keempat kugunakan untuk ‘minggat’ ke Pelabuhan Merak. Mengamati kesibukan para kuli panggul, hilir mudik di kapal ferry sekaligus menikmati birunya selat Sunda. Kalau tidak, sudah pasti aku nongkrong di taman bacaan terjauh dari rumah dan sekolah. Teman seangkatan madrasahku, paham benar kebiasaan bolosku. Tetapi anehnya, aku tidak mendapat teguran sama sekali dari orangtua dan para ustadzku. Makin aneh lagi setelah aku dipilih mewakili kelas untuk mengikuti cerdas-cermat tingkat sekolah, kemudian naik ke tingkat kecamatan. Sekolah kami, waktu itu hanya menduduki juara kedua, dikalahkan oleh tuan rumah Madrasah Nurul Huda, Kelapa Dua Serang. Hadiahnya songkok hitam tanpa cap, dan Al Quranul Karim cetakan Al- Ma’arif Bandung.

Harus aku sesali dan aku akui, belajar di Ibtida’iyyah lebih terkesan asal-asalan dengan berbagai faktor penyebab. Sehingga sampai lulus ibtida’iyyah, nilai ijazahku amburadul. Asal lulus. Nilai rata-rata enam lebih dikit. Sedangkan di SD cukup banyak ‘kompor’ yang membuatku sangat termotivasi. Mulai dari teman sekelas sampai wali kelas yang memberikan semacam expectation, agar aku meraih NEM terbesar se Kabupaten Serang. Alhamdulillah tak terlalu berhasil, tidak juga gagal.

Kabar angin yang kudengar, angka tertinggi saat itu adalah 49. Sedangkan aku cuma dapet 47 dari enam mata pelajaran. Di kota lain, kabupaten lain atau provinsi lain, angka seperti itu mungkin terhitung kecil atau dianggap kecil. Tadi di Kabupatenku –kata Pak Guruku– angka yang kuperoleh cukup lumayan. Alhamdulillah.

***

Di luar pendidikan formal versi sekuler, malam hari setelah maghrib sampai Isya’, aku tetap mengikuti pengajian Al-Qur’an secara khusus, mulai dari turutan (Juz ‘Amma) yang menggunakan metode Baghdad (Al-Qa’idah Al-Baghdadiyyah) sampai khatam Al-Qur’an. Selama enam tahun belajar Al-Qur’an, aku baru belajar pada enam guru ngaji, terhitung dari mulai alif bengkok, tajwid, makhraj huruf sampai langgam qira’at.

Para ustadz –semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan setimpal– yang sangat berjasa itu antara lain: Kyai Mahmud, Nyai Ncah, Ustadz Surudji, Ustadz Turmudzi, Ustadz Asrul (Almarhum), Bimur (Almarhum), Kyai Hasan, serta Mang Min.

Teenager

Disadari atau tidak, cerita tentang Jannah (surga) dan Nar (neraka) sangat berpengaruh pada diriku. Apalagi jika membaca komik berjudul Surga dan Neraka dengan peran utama bernama Sholeh dan Karma. Dalam komik bergambar itu, tokoh Sholeh dengan amalnya yang sholeh seperti shalat, ngaji, sedekah, hormat pada orangtua dan kebaikan lainnya akhirnya masuk surga. Sedangkan si Karma yang tidak shalat, tidak ngaji, tidak sedekah dan selalu berbuat keburukan akhirnya masuk neraka.

Otomatis hal ini menimbulkan keinginanku untuk meneruskan pendidikan negeri (sekuler). Ketika lulus SD aku berniat mendaftar ke SMPN 4 Serang dan MTS Insaniyah, Serang. Waktu itu aku berfikiran; SMP Negeri untuk urusan dunia dan Tsanawiyah untuk akhirat. Simple. Kenyataan berbicara lain. SMP favorit –yang ketika test aku ditakdirkan Allah mendapat ranking ke-4 dari 240 siswa yang diterima– itu ternyata kekurangan lokal. Sehingga untuk murid kelas I harus menjalani kegiatan belajar pada sore harinya. Dengan begitu berarti saat itu aku ‘siap diproses’ menjadi manusia Sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan kebathilan dari penjuru manapun.

***

Ada satu peristiwa “nggak lucu”, yang akhirnya jadi sejarah hidup dan kenangan manis. Dalam satu upacara penutupan penataran P4 murid baru, yang jadi protokol waktu itu adalah..., adalah..., adalah...ya itu, Sang Putri yang menjadi juara I baca puisi pelajar SD se-Kabupaten Serang. Upacara bubar. Siswa berebut ke kantin demi membasahi kerongkongan masing-masing, sekaligus mengganjal perut bagi yang lapar. Kantin penuh. Aku malas berebut. Alternatifnya, aku cari tukang es yang lagi ‘manyun’. Rasanya memang kurang enak, kalau tidak terpaksa –barangkali– para siswa tidak membelinya. “Bagi-bagi rejeki,” pikirku. Aku pun ngloyor ke arahnya. Waktu itu uang Rp 50 masih bisa mendapatkan segelas es.

Belum lagi air itu kuminum, tiba-tiba ‘pembaca protokol’ itu berdiri di depanku, hanya terpisah oleh gerobak kecil tempat menata botol-botol sirup sekitar satu meter. Rupanya Si Dia juga kehausan dan punya selera yang sama. Di hari yang terik itu, aku segera mengucapkan, “Selamat pagi…” Si Dia malah bilang, “Selamat siang dong...!” Lalu kubalas, “Selamat Pagi Indonesia… karya Supardi Djoko Damono...!” Judul puisi wajib bagi seluruh peserta lomba baca puisi yang sama-sama kami ikuti sebelumnya.

Dia hanya menjawab, “Nggak lucu!” Sambil berlari kecil membawa bungkusan es sirup warna orange. Aih! Ketika masuk kelas pada Senin harinya, orang yang bilang “nggak lucu” itu ketemu lagi. Rupanya kita sama-sama duduk di kelas satu ‘A’. Hari pertama kita masuk, Wali Kelas meminta masing-masing siswa memperkenalkan diri. Dari perkenalan demi perkenalan itu, aku jadi tahu kalau ‘satu A’ terdiri dari para ‘Veteran’ berbagai perlombaan di masing-masing SD dulu.

Saat tiba giliranku, aku hanya memperkenalkan nama dan asal sekolahku. Begitu aku akan kembali duduk, ada diantara siswa yang protes, "Hi... curang, dia pelajar teladan tuh Pak!!!” Hotman Simatupang, guru matematika yang kebetulan waktu itu memimpin perkenalan kami menahanku agar tidak duduk dulu. Ia memintaku untuk melengkapi introduction. Yah... terpaksa sambil nyengir kuda kuceritakan juga sedikit pengalaman eS-De.

Perkenalan selesai. Acara berikutnya pemilihan Ketua Kelas. Orang yang kemarin lusa bilang “Ngga’ lucu!” itu terpilih menjadi kandidat. Aku juga. Ha ha ha. Apa karena gara-gara beli es sirup di tempat yang sama, atau gara-gara sama-sama baca puisi, aku tak tahu. Di eS-De udah bosan jadi Ketua Kelas, juga ketua regu “Rajawali”. Aku buru-buru konsentrasi doa moga-moga bukan aku yang terpilih jadi Ketua Kelas. Anugerah....benar! Alhamdulillah, aku tak terpilih. Protokol “ngga’ lucu” itu akhirnya resmi jadi Ketua Kelas satu A. Sedangkan aku lupa, entah jadi apa.

Selain pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Pembohongan Bangsa) yang mencetakku menjadi Pancasilais dan Nasionalis, tidak ada pelajaran lain yang aneh. Kalaupun saat itu aku cukup menyukai subject Bahasa Inggris, itu karena Pak Ma’ruf kulihat rajin shalat. Soal vocab, kelas V SD aku sempat sedikit berguru pada abang kandungku –yang sampai detik buku ini kutulis tidak pernah bertemu lagi (semoga Allah memberikan hidayah).

Satu dua pesan guru Ibtida’iyyahku, membantuku tidak terlalu terseret arus kerusakan remaja awal. Setidaknya dalam nuraniku yang masih sangat ingusan waktu itu, tertanam perasaan atau semacam ‘intuisi’, bahwa kelas ‘satu A’ sedang berjalan menuju kerusakan. Betapa tidak, sebagian besar siswa telah merobohkan tiang agama. Mereka meninggalkan shalat. Belajar mulai jam 13.00 WIB, selesai 17.30 WIB, Maghrib 17.45 WIB. Shalat Asharnya kapan? Alhamdulillah, aku dan tiga orang teman sekelas memanfaatkan waktu istirahat yang sangat singkat itu untuk shalat Ashar di luar sekolah seberang jalan. Disebut masjid Den-Bek. Sarung Cap Manggis dan peci hitam cap 555-ku kerap kami pakai bergantian. Alhamdulillah.

***

Heterogenitas dunia eS-eM-Pe di jantung kota itu memang sangat mengasyikkan. Adalah hal yang sangat biasa jika siswa dan siswi belajar bersama, kemah bersama, makan bareng-bareng, naik angkot nengok teman sakit bareng-bareng. Itu semua –pada saat itu– kuanggap tidak apa-apa. Bahkan kuanggap sebagai ‘keharusan’ dunia remaja. Dengan modal hanya ‘tidak meninggalkan sholat’, aku sangat bangga dan bersemangat saat menceritakan kepada Ayah-Bunda bahwa aku dan teman-teman, siswa dan siswi, empat atau lima orang, habis nonton film bareng. Tidak ada teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota yang terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan di kota lain?

Pergaulan yang –jika dilihat dari kacamata Islam– termasuk amburadul itu, dengan takdir Allah tidak menghalangiku untuk meraih juara I pidato se-SMP 4. Naskah pidato yang kutulis sendiri pada waktu itu tak lain dari memory recall pelajaran Tarikh Nabi sewaktu di ibtida’iyyah, ditambah dengan sedikit dari “Sejarah 25 Nabi dan Rasul” Ny. Hadiyah Salim, hadiah dari Bunda tercinta.

Allah Maha Penyayang. Maha Pengasih. Maha Tahu. Dialah, hanya Dia; Pemberi hidayah. Dia tidak membiarkan masa remajaku ‘terbakar’ begitu saja oleh gelombang sekularisme dan materialisme bin Pancasila. Satu ketika seusai EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) dua, seluruh sekolah libur selama dua pekan. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Di antara beberapa organisasi Islam, Muhammadiyah dan Persis bergabung mengadakan acara Pesantren Ramadhan. Dengan dorongan kedua orangtuaku, kakak serta abang, Allah menggerakkan hatiku untuk mengikutinya selama sepekan.

Penjelasan dan pengajaran yang ilmiah, fair dan bersahaja, ditambah keikhlasan para asatidz dan panitia, menjadikan aku benar-benar tertarik. Di situlah aku mengerti apa itu bid’ah, apa itu sunnah, apa itu syirik dan apa itu Islam. Penjelasan masalah pergaulan, membuatku benar-benar tertusuk.

Masih segar dalam ingatanku keterangan guru agama di SMP, bahwa dalam berjalan, siswi harus di sebelah kiri dan siswa di sebelah kanan. Ini karena perempuan di Indonesia aturannya memang berjalan di sebelah kiri. Nah, pada saat ustadzah di Pesantren Ramadhan memancing para peserta tentang bagaimana cara berjalan lelaki dan perempuan ketika bersama-sama? Secara spontan dan sangat ‘pe-de’ aku menjawab persis seperti yang diterangkan guru agamaku di SMP. Ada juga peserta yang menjawab kebalikannya, tetapi kebanyakan idem dengan jawabanku.

Setelah suasana reda, ustadzah kemudian menjelaskan bahwa berjalan beriringan lelaki dan wanita yang bukan mahram adalah haram, dilarang dalam Islam. Baik si laki-laki di sebelah kanan atau di sebelah kiri, baik sepasang maupun beberapa pasang. Beliau kemudian memberikan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar hukum keterangannya.

Uraian beliau membuatku benar-benar kaget, sedih dan sejuta perasaan lain. Kurasa, itulah konflik batin pertama yang kualami. Bagaimana tidak, sejak aku mengenal sekolah, aku telah terbiasa bergaul dan bermain dengan siswi-siswi yang tak menutup aurat. Bebas bersalaman dengan mereka tanpa merasa berdosa. Bahkan setiap kali aku kebagian giliran tugas baca do’a dalam upacara bendera, ada beberapa siswi yang dengan sukarela memakaikan dasi kupu-kupu di leherku, ada yang memakaikan topi, lalu kemudian kami tertawa riang bersama khas remaja tanpa merasa berdosa sedikit pun. Jika ada yang tidak suka dengan gaya kami, segera kami beranggapan bahwa dia cemburu, atau buruk sangka, atau ketinggalan zaman. Jadi, ya kami jalan terus, toh kami nggak ngapa-ngapain, lagian di depan banyak orang. Musibah!

Bagiku, Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh hidayah dan rahmat. Itulah starting point yang membuatku mengerti betapa indahnya Islam, betapa hebatnya Islam, betapa sempurnanya Islam. Di situ aku mengerti bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Padahal sebelumnya aku hanya mengerti bahwa Islam itu sekedar ritual. Sejak saat itu aku mulai mengerti apa arti hidup, apa arti ibadah. Aku mulai paham dan merasakan sebuah kekhusyu’an. Aku mengerti bahwa masa-laluku adalah salah. Astaghfirullah!!!

***

Senin, aku harus kembali ke eS-eM-Pe E. Tidak seorang pun tahu bahwa hampir sepanjang malam aku menangis, menyesali masa lalu. Kadang-kadang batinku ‘mengutuk’ mengapa para asatidz di Ibtida’iyyah dulu tidak memberikan pengertian yang benar tentang Islam. Begitu juga guru agamaku di SMP. Sebenarnya, aku enggan kembali ke sekolah. Saat itu aku benar-benar membenci teman-teman wanita di sekolahku, kecil-kecil udah pada nyanyi lagu cinta, giliran disuruh ngaji pada mlongo.

Aku juga membenci diri sendiri kenapa masuk sekolah ‘Belanda’ itu? Demi menghormati dan menjaga hati orangtua, meski dengan ogah-ogahan, akhirnya aku ke sekolah. Biasanya naik angkot, kali itu aku jalan kaki sambil tak berhenti memikiran dan membandingkan materi-materi di Pekan Ramadhan dan di SMP. Jauuh...jauuh! Aku benar-benar menyesal, kecewa dan marah. Tapi pada siapa? Aku juga cukup jengkel begitu ingat bahwa ke sekolah harus mengenakan celana pendek warna biru di atas lutut.

Sejak di gerbang sekolah sampai di kelas, tak seorang pun yang kusapa. Teman putri yang bilang “Selamat pagi” pun tak kujawab. Teman putra yang bilang “Selamat pagi” kujawab dengan, “Assalamu'alaikum.” Beberapa menit kemudian, pengajian oleh guru agama di lapangan basket dimulai. Para siswa dipersilakan bertanya tentang seluruh masalah agama setelah beliau berceramah sekitar setengah jam. Aneh, penjelasannya sama sekali tidak menyentuh hati dan cenderung membosankan.

Dalam secarik kertas, kutuliskan pertanyaan tentang hukum seorang wanita baligh mengenakan jilbab. Maksud pertanyaanku, agar guru agama itu menjelaskan kepada seluruh siswi supaya menutup aurat mereka. Kupikir beliau akan menerangkan kadungan surat An-Nur ayat 30-31 dan Al-Ahzab ayat 53 tentang kewajiban memakai jilbab. Tercengang aku. Apa jawaban beliau? “Jilbab adalah budaya Arab, untuk menutupi wajah dari pasir karena Arab terkenal gurun pasirnya. Sedangkan Islam mencintai kebersihan. Sedangkan di Indonesia alam dan iklimnya lain. Jadi tidak wajib memakai jilbab.”

Benar-benar menjengkelkan. Saat itu aku merasa berada di tengah dunia lain. Dunia sekuler. Dunia yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia yang jauh dari Islam. Dunia yang sangat dekat bahkan terkurung oleh Sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia: adalah Pancasila. Dunia astung!

Raport kenaikan kelas dibagi. Seperti biasa, juara kelas I sampai III disuruh berdiri di depan kelas. Aku hanya tunduk. Bosan. Hati kecilku waktu itu sudah bergumam gundah, “Aku juara sekuler!” Mulai hari itu, aku mempunyai kekuatan dalam hati untuk tidak bersalaman dengan perempuan non-mahram. So, barangkali teman-teman putri yang dulu memakaikan topi dan dasi kupu-kupu warna biru, ketika upacara, agak terkejut dan tersinggung ketika uluran tangan mereka tak kusambut. Saat itu aku hanya merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil berkata, “Alhamdulillah.” Aku sempat mendengar ucapan salah seorang dari mereka, “Dih... najis, kok berubah?”

Benar! Ketua regu Garuda, pembaca doa upacara bendera, dan ‘siswa gaul’ itu, telah berubah. Sejak liburan panjang akhir tahun ajaran 1984/1985 dimulai, aku sudah berniat good bye SMP sekuler. Aku ingin mesantren atau pindah ke sekolah PERSIS (Persatuan Islam). Niat itu sudah kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Mereka bingung juga.

Sejak SD dan Ibtida’iyyah, aku punya tempat khusus untuk menyendiri selain taman bacaan. Tempat itu berada di tegalan yang tak terlalu jauh dari kuburan, sekitar 100 meter dari rumah. Saat itu, aku memilih ke ‘pertapaan’-ku sambil membawa buku. Barangkali dapat ilham, pikirku.

Sekitar 20 meter dari tempat yang kutuju, terdapat 3-4 anak-anak sebayaku bermain. Satu di antaranya teman sekelasku waktu SD. Kami ngobrol sebentar. Baru sekitar lima menitan, tiba-tiba mata kaki kananku seperti disengat sesuatu. Dua anak yang sejak aku datang asyik menikmati mangga di atas pohonnya, tiba-tiba langsung melorot turun. Dua-duanya kemudian lari menjauh sambil teriak “Ular..ular..!” Teman yang tadi mengobrol pun jadi ikut bingung. Soalnya kami tak melihat ular. Kakiku terasa berdenyut-denyut. Nyeri.

Kulihat agak kebiru-biruan. Ada lubang kecil dan sedikit darah tapi tak mengalir. Segera kumasukkan ibu jariku ke langit-langit mulutku. Kuambil lendirnya. Bismillah, kusapukan lendir itu ke tempat luka. Setengah pincang aku berlari kecil ke rumah. Temanku tadi ikut mengantar. Kejadiannya setelah Ashar. Begitu Maghrib, ukuran kakiku menjadi dua kali lebih gemuk dari kaki kiri. Kami berdua tak tahu pasti apa penyebab sebenarnya.

Dalam keadaan kaki sakit, beberapa hari kemudian aku mendapat undangan menghadiri semacam Bazar Amal Pesantren Persatuan Islam. Berjalan kaki tak mungkin, naik becak juga dilarang. Jalan terakhir satu-satunya adalah naik ‘kendaraan terakhir’ yang ayah miliki. Akhirnya kami keluarga menghadiri bazar tersebut. Belakangan aku baru sadar, rupanya itulah ‘kebersamaan terakhir’ yang aku lampaui bersama kedua orangtuaku.

***

Rasa haru dan kagum timbul saat menyaksikan murid-murid SDI (SD Islam) mementaskan kemampuan mereka menghafal hadits sekaligus terjemahannya. Luar biasa. Tiba-tiba ada yang mencabut peci ‘sakti’ cap 555 yang bertengger di kepalaku. Orang berjilbab yang ternyata ‘kakak pernah sepupuku’ pelakunya. Dia bilang, “Nanti kalau dipanggil ke depan, kamu jangan pakai peci ya! Bagusan tanpa peci.” No comment. Akhirnya peci ‘apek’ kesayanganku itu dikembalikan lagi.

Pada sesi akhir acara Bazar Amal, aku terkejut begitu namaku disebut sebagai peserta terbaik Pesantren Ramadhan tahun itu. Aku diminta naik panggung. Sambil setengah pincang dan setengah malas, kukeluarkan peci yang kukantongi tadi dan kukenakan kembali. Tepat di dekat tangga anak panggung yang terlindung dari penglihatan hadirin, tiba-tiba sepupuku mencabut kembali peciku sambil bilang, “Udah gitu aja, cakep tuh!” No time, naik panggung, terima piagam. Hadirin tepuk tangan. Bosan. Aku turun lagi.

Sejak menyaksikan kemahiran murid-murid Pesantren Islam itu, keinginanku untuk pindah sekolah semakin kuat. Di sekolah itu semua siswi berjilbab, anggun dan sopan. Ruh ke-Islaman kuat terasa. Sedangkan seluruh siswa mengenakan celana panjang. Mantap!

Tahun ajaran baru 1984/1985 tiba. Kaki kananku yang belum membaik lebih menguatkan alasanku untuk tidak daftar ulang ke sekolah sekuler. Lewat seminggu, datang utusan dari sekolahku mempertanyakan masalah daftar ulang dan kelanjutan pendidikan. Tanpa sepengetahuan ayah ibuku, kukatakan kepada mereka, yang juga teman sekolah dan tetanggaku, bahwa aku akan pindah sekolah. Mereka kaget dan tidak setuju dengan rencanaku itu. Rata-rata mereka menyayangkan prestasiku dan kemampuanku jika harus pindah ke sekolah lain.

Tak sampai sepekan, teman-teman yang datang menemuiku lebih banyak lagi. Aku salut dengan solidaritas mereka. Kali ini ibuku turut bicara. Satu di antara mereka menyampaikan pesan sekolah bahwa aku mendapat juara umum ke-3 se SMP. Penentuan itu didapatkan dari hasil EBAS plus kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Juara satunya diraih oleh kakak kelas. Kedatanganku sangat diharapkan dalam upacara Senin sekaligus pengumuman dan pembagian hadiah. Jadi, kata mereka, kalau mau pindah sekolah ya nanti saja setelah pengumuman, yang penting datang dulu.

Nampaknya ibuku tertarik, padahal aku juga tertarik, tapi sedikit. Aku tidak ingin ibuku kecewa, sekali pun beliau tidak memaksa. Hati manusia begitu tipis, mudah berubah, apalagi jika berhadapan dengan dunia, barangkali aku seperti itu. Musibah lagi!

***

Ke sekolah lagi. Sepatu “Arista” strip kuning, celana biru pendek, dasi kupu-kupu cap “kancing cepret”, topi pet, tas anti karat anyaman daun pandan, langsung ke bagian Admin bayar daftar ulang. Di situ aku baru tahu aku duduk di kelas paling bontot, II-E. Masuk sebentar, sekedar menyimpan tas di sembarang meja. Bel upacara telah dipencet pertanda dimulai apel Senin di lapangan basket. Biasanya aku ada di depan atau baris kedua, karena memang tubuhku kecil. Tapi setelah ‘nyantri’ aku memaksa berada di barisan belakang. Tidak ada yang menarik dari penjelasan ‘Pembina Upacara’ sekaligus Kepala Sekolah itu.

Pembina OSIS membacakan pengumuman yang bagiku tak surprise lagi. Namaku dipanggil maju lagi. Berdiri dekat tiang bendera menghadap ke arah sekitar 600 bocah lebih siswa dan dewan guru. Kepala sekolah menyalami kami setelah memberi hadiah. Tepuk tangan riuh rendah. Hatiku biasa saja, sebab waktu itu aku sudah mengerti apa itu riya’ dan apa itu rendah hati.

Kelas II-E. Alhamdulillah, dengan teman putra dari kelas berapa pun aku adaptable, begitu juga dengan guru-guru. Ada satu topik yang cukup melekat di benakku saat itu bahwa wanita adalah tiang negara, jika wanita baik maka negara akan baik, jika wanita rusak maka negara rusak. Bekal dari pesantren Ramadhan bagiku menjadi beban moral. Didorong oleh hadits, “ballighu ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walaupun satu ayat), akhirnya aku ajak teman-teman diskusi di kelasku, baik putra maupun putri. Saat aku bicara masalah jilbab, 99,999% tidak nyambung. Dari 24 siswi hanya satu yang nyambung. Barangkali pendidikan agama di rumahnya cukup bagus. Tapi ya bagaimana? Mau pakai jilbab di zaman seperti itu sama halnya dengan mengharapkan surat berhenti sekolah.

Ada yang lucu. Waktu itu istilah ‘dengkulmu’ adalah istilah gaul yang sama sekali tidak berarti kasar. Ia lebih sebagai istilah keakraban. Saat aku ajak ngobrol masalah aurat pria tiba-tiba hampir serempak ada beberapa teman nyeletuk, “Dengkulmu, bagaimana coba?” “Sama-sama bengkok,” kataku. Kami tertawa bersama.

Saat itu, semangat membacaku semakin ‘menggila’. Tiada hari tanpa perpustakaan. Keragaman judul buku dan ruangan yang cukup luas membuatku sanggup bertahan lama. Alhamdulillah, hampir sebagian besar buku di tempat itu pernah kubaca. Setelah buku-buku agama, ensiklopedia bergambar tentang alam semesta benar-benar menarik perhatianku. Seingatku, satu-satunya novel yang pernah kubaca adalah, Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka.


Sedangkan Tengelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka, Salah Didik, Salah Asuh, Atheist, atau yang lainnya aku sama sekali tak tertarik. Aku juga tidak tertarik dengan Siti Nurbaya yang hanya tahu judulnya saja. Satu ketika aku pernah kecewa terhadap perpustakaan. Ceritanya, aku bermaksud pinjam buku untuk dibawa pulang. Alhamdulillah, ternyata buku-buku itu sudah kubaca. Ada yang belum kubaca tapi tak menarik, ada juga yang menarik tapi sedang dipinjam anggota perpustakaan lain. Jadi tak ada judul baru yang bisa kubaca. Kalau tak salah, jatah maksimal buku yang boleh dipinjam dalam satu kali adalah tiga judul. Tetapi aku biasanya nego dengan penjaga perpustakaan.

Alhamdulillah bisa membawa pulang sampai empat buku. Meski demikian, kebiasaan ‘mustaka’ itu tidak membuatku menjadi ‘kuper’. Pergaulan dengan teman-teman tetap terjaga. Meski waktu undangan ulang tahun dari siapapun tidak pernah kuhadiri. Alhamdulillah, aku berhasil menolak dengan cara yang baik. Satu dua orang ada yang menganggapku fanatik, tetapi dia menghormati pendirianku. Jadi kita nggak clash. Kami jalan masing-masing.

***

Suatu ketika aku dipanggil oleh guru elektronika yang juga pembina pramuka. Bukan main senangnya ketika diberitahu bahwa aku mendapat beasiswa Depdikbud Kabupaten Serang. Jika ketika SD aku dibebaskan uang SPP dan BP3, maka kali ini aku mendapat tabanas selama setahun. Aktifitas di OSIS sama sekali tidak mengganggu stabilitas prestasi belajarku, baik sebagai juara kelas maupun juara umum. Alhamdulillah. Malah pergaulanku semakin luas.

Entah siapa yang mulai, teman-temanku tiba-tiba menjodoh-jodohkanku dengan ketua OSIS yang juga mantan juara baca puisi SD, sekaligus pernah bilang, “nggak lucu”. Aku cukup terkejut saat memasuki aula, tiba-tiba adik-adik kelas dan kakak kelas menyanyi, “Zakiyah siapa yang punya... Zakiyah siapa yang punya..., yang punya ... Abdul Aziz”. Tak bisa kugambarkan perasaanku. Aku dan istriku (sorry, waktu itu belum jadi istri) saling pandang secara reflek dan kami sama-sama tersenyum.

PROFIL SYUHADA' : AKHUNA GEMPUR BUDI ANGKORO aka ABU SILAH JABIR AL JATIMY ROHIMAHULLOH

Jabir Abu Silah
Alhamdulillah, was sholatu was salam ala Rosulillah.


Jabir…. Nama dan keluarganya….


Semua nama ikhwan kita yang satu ini memang suka yang berbau kekerasan, tengok saja nama aslinya
adalah Gempur Budi Angkoro, nama hijrohnya tidak jauh berbeda yaitu Jabir yang berarti “pemaksa”, nama kunyahnya Abu Silah atau “Tukang senjata”.

Beliau lahir di sebuah desa Mojorejo, Kec. Kebonsari, Madiun, Jawa Timur 27 tahun yang lalu. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ibunya, Masrihatin, sehari-hari menjadi guru sekolah dasar. Ayahnya seorang peternak ayam. Keluarga ini menjalankan agamanya secara ketat. “Semua saudara pak Rusman selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam”. Kata Sugiman, ketua RT dikampung Jabir. Namun tumbuh besar dan dewasa dihabiskan di dalam pondok pesantren bertahun-tahun, hampir sembilan tahun dia mendalami dan mempelajari agama Islam ini. Sehingga prinsip dan pemahaman Islamnya begitu kuat menancap di dalam hatinya.

Keluarganya pun termasuk dari kalangan orang-orang yang mencintai kekerasan, yah… yaitu kekerasan hidup ini dan kekerasan terhadap musuh-musuh Alloh. Sehingga hampir kebanyakan keluarganya pernah merasakan pahit manisnya penjara bahkan sepupunya yang terkenal dengan sebutan Al Ghozi telah dahulu menemui kesyahidannya dalam sebuah aksi melarikan diri dari penjara.
Maka tidak mengherankan jika dia memilih jalan jihad ini untuk memperjuangkan dan menegakkan Islam setinggi-tingginya.

Dia seperti yang digambarkan di dalam sebuah hadits tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan perlindungan pada hari kiamat nanti dimana tidak ada perlindungan selain perlindungan Alloh Subhanahu wa ta’ala, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Alloh”.


Jabir tekad dan keberaniannya….

Akhi Jabir adalah sosok yang memiliki tekad yang kuat, tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, nampaknya dia terilhami oleh sepupu dia Fathur Rohman Al Ghozi, yang dia sering sekali bercerita tentang sosok kepribadiannya.
Lihat saja beberapa catatannya yang dia tulis disebuah buku memory nya “ Di kanan kiriku mereka berteriak, Namun mataku tetap nanar, mereka tak berhenti berceloteh….Mencaci…. Mencela…. Menghina. Ya…. Robbi…. Masukkan hamba Mu ini…. Ke dalam jannah Abadi…. Bersanding dengan para bidadari….“

Seperti juga yang dikatakan teman seperjuangannya “Kepribadian dia, masya Alloh dia sangat berani sekali. Kita mesti malu kepadanya. Orangnya sungguh-sungguh, walaupun dia humoris tapi ketika dia mempunyai azam atau mempunyai niat insya Alloh dia pegang azamnya tersebut”.

Keberaniannya sungguh sangat luar biasa, memang sejak di pondok jika ada waktu dia selalu mengisi liburannya dengan mendaki gunung walaupun sendirian. Barangkali itulah yang menjadikan dia berani menempuh jalan ini walaupun sendirian.

Seperti yang dituturkan oleh salah seorang sahabatnya selama pelarian “jadi ketika bertemu dengan dia itu saya rasakan keberaniannya, keberanian yang amat sangat. Dimana ketika dia dinasehati oleh orang tua, “Kamu harus hati-hati”. Tapi dia menjawab, “Insya Alloh”. Saya sempat terkecoh dengan orang ini. Kok bisa seperti ini, padahal masya Alloh dia kan selalu dicari-cari oleh thoghut, tapi dia nampak biasa aja, tidak menampakkan sedikitpun rasa takut, begitu yakin bahwa Alloh akan menolongnya. Itu yang ana sendiri keyakinan seperti itu belum bisa saya melakukannya”.

Yang namanya buron itukan selalu diliputi rasa was-was, dan itu memang sudah kodrat manusiawi. Tapi setelah dia jadi buron seakan-akan nggak seperti buronan. Santai saja, naik bis, jalan itu biasa saja. Juga naik sepeda motor, makan di warung, siang maupun malam pokoknya dia nggak seperti buronan lah. Bahkan sempat ditanyakan, “lho kok naik bis?” Maksudnya kalau bisa ya jangan naik bis. Tapi memang keadaannya begitu, ya akhirnya dia naik bis, dan itu terjadi beberapa kali. Mungkin dari keyakinan dan komitmen untuk menempuh jalan jihad ini tidak menghalangi dia untuk melanjutkannya meskipun posisi dia itu lagi di cari-cari.

Dia sendiri pernah bercerita, ada satu ustadz yang menganggap dia itu ikut-ikutan, ada satu ustadz yang ngomong, “Jabir melu-melu (ikut-ikutan)?”. Nah, ketika berkata seperti itu kayaknya agak nggak terima. Dia ingin membuktikan bahwa dia itu bukan sekedar ikut-ikutan saja. Mungkin itu lah salah satu yang telah dia buktikan hari ini…


Jabir dan akhlaknya….

Beliau Adalah Seorang Yang Tidak Banyak Bicara, Namun Banyak Berbuat Dan Biasanya Yang Syahid Itu Ciri-Cirinya Seperti Itu. Orangnya Sangat Baik Dan Tidak Terlalu Tergesa-Gesa, Pengertian Dan Gampangan, Suka Menolong Temannya.Orangnya Mau Mengalah Kepada Orang Yang Lebih Tua.
Seperti Yang Diceritakan Oleh Sahabat Dekatnya, “Dia Itu Orang Yang Banyak Diam Dan Itsar, Nggak Pernah Merepotkan Orang”.

Juga menurut sepupunya, “Banyak orang yang mengatakan bahwasannya dikampung dan di masyarakat dia itu pendiam, tapi ketika saya dan dia berhadapan dengan kekerasan dia itu juga bisa keras”. Kata dia juga “Ya, yang saya pahami dia itu sejak kecil memang lain dengan kakak-kakaknya, lebih pendiam, lebih menurut kepada orang tua”.

Namun jika bekerja dia sangat sungguh-sungguh, “Dia kalau sudah kerja dia kerja betul-betul sampai lelah dan kalau sudah lelah dia tidur lalu bangun kerja lagi” kata teman dekatnya.
Jabir dan ibadahnya….

Jabir mengalami perubahan drastis itu dalam masalah ibadah sehari-hari dibanding dulu ketika dia masih di ma’had. Sebelum beliau mengkonsentrasikan diri dalam medan
jihad secara penuh. Terlihat di dalam keseharian beliau, beliau rajin sekali membaca Al Qur’an, shoum daud dan qiyamullail. Kalau sudah malam dia itu adalah orang yang sedikit tidurnya. Beliau itu rajin sekali membaca al qur’an.
Salah seorang sahabatnya berkata, “Ana lihat dengan mata kepala saya sendiri. Beliau itu rajin sekali membaca al qur’an. Dulu waktu dipondok ana lihat dia itu tak serajin itu, trus kemudian qiyamullail dan shoum daud yang ana tahu. Padahal waktu dima’had shoum daud itu nggak pernah, senin kamis aja kadang iya dan kadang tidak. Kayaknya malah nggak pernah”.
“Dialah yang paling dekat dengan Alloh diantara kita, sering kita melihat malamnya ketika kita masih enak-enakan tidur dia sudah bangun, ketika kita sholat sudah selesai dia masih menangis dalam sholatnya”, kata ikhwan yang lainnya.


Jabir dan keilmuannya….

Hampir selama sembilan tahun umurnya dia habiskan untuk menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Sebenarnya ilmunya dalam masalah agama biasa-biasa saja, namun jika dia menerangkan itu mudah dipahami oleh pendengarnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang muridnya, “Dia Kalau memandang suatu masalah itu obyektif, kalau memberi penjelasan atau pengertian itu jelas”.
Dikampungnya pun dia terkenal orang yang alim, “Dan kesan dari jama’ah itu malah namanya mas gempur itu orangnya pinter gitu loh!. Dan semua masyarakat bisa menerima apa isi kajiannya, lain dengan yang mereka dengarkan dikampung-kampung itu. Itu kesan dari mereka. Jadi masyarakat itu senang dengan dia” kata salah seorang kerabatnya.

Kemudian ketika dia menyampaikan suatu ilmu dia tidak seperti menggurui ke siapapun, walaupun kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua. Tidak seperti menggurui tapi menyampaikan seperti apa adanya, tidak bermaksud untuk dia merasa lebih pinter atau lebih ini, dan lain-lain. Jadi ketika kita bertanya ke dia pun kita merasa enak dengan jawaban yang diberikan. Dan kalau mengisi lagi mengena dan bisa dipahami.


Jabir dan nasehat-nasehatnya….

Nasehat-nasehat ini dia tulis ketika dalam masa pelarian dan menapaki jihad ini. Dia membikin buku-buku tentang masalah jihad dll. Masalah nasehat-nasehat, kemudian masalah nasehat untuk para mujahid, untuk para istri mujahid, trus tarbiyah jihad masalah silah, masalah taktik dan strategi. Ya hanya dibikin buku-buku saku saja.

Inilah beberapa nasehat yang masih diingat oleh murid, teman dekat, ikhwan-ikhwan dan keluarga maupun yang dia tulis di memory nya yang ditujukan kepada semua orang.
” Surga itu tidak dibeli dengan berpangku tangan, dengan enak-enakan saja hanya dengan berdoa. Tidak mungkin kalau tidak dengan tetesan darah, serpihan daging kita. Kalau nggak gitu namanya mati konyol”.
Mengingatkan para muridnya untuk sabar, ikhlas dan menjauhi su’ud dzhon.
“Madu itu tidak selamanya manis dan racun itu tidak selamanya pahit”. Artinya bahwa tidak selamanya yang terlihat bagus itu enak dan racun kan
bisa jadi obat asal penggunaannya benar.
Kata salah satu muridnya, “pelajaran yang paling saya ingat adalah “Kalau celana dibawah mata kaki masuk neraka”.


Jabir dan nasyid kesukaannya….

“Nasyid yang sering dia nasyidkan itu yang Sa’adzudu wahiidan. Itu ceritanya waktu itu lagi escape trus melihat cd palestina. Waktu itu posisinya terjepit, dia bilang, “Sudah lah saya ini antar saja ke markas Densus, lalu biar aku sendiri yang menghadapi”, lalu ada salah seorang temannya bilang, “Wah antum seperti yang ada di cd itu pak” lalu dia menyanyikan itu. Diantaranya juga nasyid nabarot, Washaq fir’auna ma’as saharoh, badroh3X dan nahnu fursanul mu’tah atau sairun-sairun.


Jabir dan kerinduannya kepada syahadah….

Sungguh, sejak dia memahami bahwa tidak ada yang mengembalikan kejayaan Islam ini selain jihad kepada Alloh, maka dia selalu berusaha dan berdoa supaya dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang telah menjual diri dan hartanya dijalan Alloh. Dia berusaha mencari kematian dengan sebaik-baik kematian, seperti yang dia tuturkan sendiri di dalam catatannya “Dengan peledakan pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama….”
Juga catatan yang lainnya dia bilang, “Jika tubuh dicipta untuk menjemput kematian, lebih baik terbunuh karena Alloh dengan pedang…”.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang ikhwan kita “Yang saya tahu ketika itu memang dia itu keinginan untuk mencari dunia itu sudah tidak ada. Dan keinginan untuk mencari syahadahnya ketika itu tinggi sekali. Dan beliau juga jujur, terlihat dari raut mukanya. Ya begitulah dia memang memendam tekadnya dalam hati, maksudnya tidak pernah berkoar-koar”.
Kemudian subhanalloh! Alloh begitu cepat memilih dia, kita sangat bahagia bila menyakini bahwa dia itu akhi Jabir, kita telah bersama-sama menelusuri perjalanan jihad ini, dan kita taulah bahwasannya itulah keinginannya yang kuat.
Kejadian hingga dia mati syahid adalah begini, jam tiga pagi polisi sudah mengepung lokasi di daerah di Binangun Rt 10 Rw 05, kelurahan Ringin Anom kec. Kretek kab. Wonosobo. Dan memang ini sasaran sudah diikuti tiga bulan yang lalu, dipastikan mudah-mudahan ada Noordin M Top. Nah pagi sekitar jam enam siang, polisi mulai melakukan penggeledahan, teryata mereka melakukan perlawanan dengan senjata api M 16 akhirnya terjadi tembak-menembak hingga ikhwan-ikhwan kehabisan peluru dan polisi dapat lumpuhkan empat orang. Yang dua dinyatakan tewas, sedangkan dua selamat. Sayangnya Noordin M Top tidak ada di tempat, salah satu yang syahid adalah Jabir.
Ala kulli hal dia itu termasuk dari usudun minal usuud, wa jabalun minal jibaal, taro sholaha fi wajhih, musyairu harbin lau kaana ma’ahum rijaal.

Rahimakallohu ya Jabir…. Rohimakalloh laka….
فها هو جابر لديننا يثأر
يسرح في الجنة وهو بها أجدر

“Inilah dia Akhi Jabir….
Yang telah berperang untuk agama kita….
Berjalan-jalan sesuka hatinya di jannah….
Dan dia memang pantas untuk itu….”

 

Dari : Abu Zaid Ali Ghufron bin Nurhasyim @ Mukhlas.

Kepada : Saudaraku Seiman yang dikasihi lagi dicintai.

“Semoga Allah menjagamu dan memeliharamu serta menjadikanmu termasuk dari hamba lelaki dan hamba perempuan-Nya yang terpilih”.

Assalamu' alaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillah, bagaimana keadaan antum? Mudah-mudahan antum senantiasa baik dan sehat walafiat. Adapun ana alhamdulillah senantiasa sehat walafiat, semakin hari semakin bertambah baik, kebaikan yang ana rasakan dapatkan dan rasakan tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya dan jumlahnya, bermacam-macam rahmat dan nikmat yang batin maupun yang lahir dicurahkan Allah Azza Wa Jalla dan dilimpahkan-Nya kepada diri ana. Demi Allah! Kenikmatan dan kebahagiaan yang sedang ana rasakan dan nikmati ini tidak boleh ditukar dengan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ana katakan: seandainya perasaan raja dan penguasa dunia mengerti dan mengetahui kebahagiaan hati ana, niscaya mereka kerahkan segala kekuatan yang mereka miliki untuk merebutnya.

Saudaraku seiman yang ana kasihi.

Sebenarnya ana ingin sekali menceritakan segala kenikmatan dan kebahagiaan yang bertahta didalam dada ini, dan perasaan izzah (mulia & gagah) yang terpatri dalam lubuk sanubari ini, agar antum bisa ikut berkongsi merasakan lezatnya dan nikmatnya, tapi sayang ana tidak mampu mengibaratkan dengan lisan maupun tulisan, ana tidak menemukan kalimat dan kata-kata yang dapat mengungkapkan dan melahirkan perasaan izzah dan indah-indah yang bersemayam didalam hati sanubari ini.

Tapi dengan izin Allah Jalla Sya’nuhu dan semata-mata karena karunia-Nya alhamdulillah ana mendapatkan kata-kata yang indah lagi izzah dari seorang al-aimul allamah dan mujahid agung Islam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w.728H) yang beliau lantunkan dan senandungkan sewaktu beliau berada didalam penjara –Insya Allah- ucapan-ucapan beliau ini dapat mewakili sebagian daripada perasaan ini.

Berkata Ibnu Taimiyah ra: Apa yang diperbuat musuh-musuhku terhadapku? Aku, Surga didalam hatiku, dan tamanku didalam dadaku, kemana saja aku pergi, ia bersamaku, tidak pernah berpisah denganku, aku penjaraku adalah tempat ibadahku, dan dibunuhku adalah mati syahid, dan diusirku dari negeriku adalah siyahah (melancong).

Beliau berkata lagi: ..Adapun aku apa yang harus aku takuti? Kalau aku di bunuh, aku akan menjadi seutama-utamanya orang yang mati syahid, dan aku akan senantiasa dicecari rahmat dan ridha Allah hingga hari kiamat. Adapun orang-orang yang membunuhku akan dilaknat (dikutuk) di dunia selama-lamanya dan disiksa di akherat. Agar setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mengetahui bahwa sesungguhnya aku jika dibunuh adalah semata-mata karena agama Allah, dan jika aku dipenjara, maka bagiku penjara adalah merupakan sebesar-besarnya nikmat Allah terhadapku. Demi Allah! Aku tidak mampu mensyukuri nikmat Allah yang dicurahkan kepadaku didalam penjara ini. Dan aku tidak khawatir terhadap sesuatu seperti yang dikhawatirkan manusia, tidak khawatir terhadap sahamku, madrasahku, hartaku, dan tidak juga terhadap kedudukanku dan pangkatku. (Majmuatul fatawa Libri Taimiyah 3/138 atau 3/216).

Dan katanya lagi dalam suratnya yang dikirimkan kepada para sahabatnya dari dalam penjara Iskandar-Mesir. Yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah Engkau nyatakan (dengan bersyukur)” (Q.S. Ad-Duha:11). Dan yang perlu saya beritahukan kepada jama’ah –Semoga Allah berihsan kepada mereka di dunia dan di akherat, dan menyempurnakan nikmat-Nya yang lahir maupun yang batin. Maka sesungguhnya aku – dan Allah Yang Maha Agung Yang tiada tuhan selain Dia – didalam kenikmatan dari Allah yang belum pernah aku lihat seumur hidupku. Sungguh Allah Ta’ala telah membuka pintu-pintu karunia-Nya, nikmat-Nya, gudang-gudang perbendaharaan-Nya dan rahmat-Nya, yang tidak pernah terlintas dalam benak dan fikiran, dan tidak pula pernah terbayangkan sama sekali sebelumnya, khayalan tidak dapat menjangkaunya, akan tetapi ternyata –karena Allah Ta’ala memudahnkannya- kini menjadi pendamping setia setiap saat, hal ini sebagiannya dapat dicicipi dengan alat perasa bagi orang yang punya bagian dari marifat kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan benar-benar beriman kepada-Nya, serta sesuatu yang direbut orang-orang yang terdahulu dan terkemudian dari Ilmu dan Iman. Dan seterusnya (Majmuatul fatawa libri Taimiyah 28/21 atau 28/31). Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan beliau dan tulisan-tulisannya yang mengkisahkan fadhilahnya sewaktu dipenjara, silahkan rujuk kepada kitab Majmu Fatawa beliau.

Dan Al-Iman Al-Hafidz Ibnu Katsir ra (w.774H) menceritakan panjang lebar kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sewaktu dipenjara didalam kitabnya “Al-Bidayah wan Nihayah” juz 2 ke 14, termasuk menceritakan isi surat beliau yang dikirimkan kepada wakil Sulthan, yang diantara isinya mengkisahkan keadaan diri beliau di dalam penjara, antara lain tentang tawajjuhnya dan taqarrubnya kepada Allah Azza wa Jalla, dan beliau enggan menerima sebarang pemberian dari Sulthan baik nafkah, pakaian maupun yang lain, karena tidak mau ternodai dengan semua itu. (Al-Bidayah wan Nihayah 14/47). Dan beliau ra juga mencaritakan bahwa selama Syaikhul Islam bnu Taimiyah berada dipenjara benteng Damaskus, beliau khatam Al-Qur’an sebanyak 80 kali, kemudian berjalan yang ke 81 kalinya sampai pada ayat terakhir dari surat Al-Qamar (54): 54,55 yang artinya : Sungguh orang yang bertaqwa berada di taman-taman dan sungai-sungai di tempat yang disenangi disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Beliau meninggal dunia. (Ibid hal.150-151).

Saudaraku Seiman yang ana cintai.

Itulah sebagian perasaan Izzah dan Indah dalam hal ini yang dapat ana lahirkan dengan ungkapan, yang tersimpan dalam lubuk hati masih banyak lagi, dan alhamdulillah apa yang dialami dan dirasai Syaikhul Islam yang sebagiannya telah ana sebutkan diatas, ana juga mengalami dan merasakan seperti itu meskipun kadarnya mungkin berbeda, misalnya nilai yang beliau alami dan rasakan 100, mungkin ana lebih kurang 10 –wallahu’alam- padahal ucapan-ucapan beliau itu- selain yang pertama- baru ana ketahui pada bulan Ramadhan 1428H yang lalu, sebab kitab “Majmu’atul Fatawa libri Taimiyah baru ana terima akhir bulan Sya’ban, dan alhamdulillah selama bulan Ramadhan & Syawal ana dapat membacanya 15 Juz (1-14 dan juz 28, ditambah Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatiwir Rasul). Sedangkan perasaan tersebut sudah ada dan ana alami sejak masih berada di sel Polda – Bali. Alhamdulillah dengan nikmat yang besar ini dan demikian juga yang dialami oleh adik kandung ana Akhi Amrozi, begitu juga akhi Imam Samudera.

Maka tidak mengherankan apabila antum sempat melihat gambar (foto) kami yang ditayangkan di tv, atau media massa yang lain khususnya gambar atau foto yang kahir-akhir, antum mendapati kami senantiasa dalam keadaan tegar dan senyum, seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi, padahal kami sedang dihadapkan kepada rencana eksekusi yang kalau dilihat dari gertakannya dan suasana yang direka oleh pihak-pihak tertentu termasuk wartawan, seolah-olah eksekusi itu tinggal menunggu seminggu lagi. Ini merupakan ujian yang maha dahsyat dan luar biasa beratnya bagi manusia biasa. Namun alhamdulillah dengan cucuran dan limpahan rahmat-Nya, ‘Inayah-Nya, belas kasih-Nya, ta’yidi-Nya dan pertolongan-nya, kami diringankan Allah Jalla Sya’nuhu dengan seringan-ringannya dalam memikul beban yang maha berat tersebut, sehingga terasa ringan sekali dalam menghadapinya seperti hendak pergi shalat berjama’ah di masjid saja. Padahal dulu sebelum ana mencicipi penjara, mendengar ada saudara kita yang di vonis dengan hukum penjara dua tahun saja rasanya sudah ngeri, tapi alhamdulillah kini diputus hukum mati tak ada perasaan ngeri sama sekali bahkan dengannya seribu satu hikmah yang didapatkan.

Semoga nikmat-nikmat yang besar-besar ini senantiasa berkekalan dan menyertai kami sampai akhir hayat, dan dapat kiranya dirasakan juga oleh seluruh saudara seiman kita dimanapun mereka berada, meskipun dalam suasana dan media yang berbeda. Amin.

Saudaraku Seiman yang dikasihi.

Semuanya itu menurut ana, dengan berbagai mubasysyirat yakni mimpi-mimpi kami yang Indah-Indah (baca tulisan ana yang bertajuk “Mimpi Yang Benar & Yang Baik” dan kedua saudara kita akhi Imam Samudera dan Akhi Amrozi juga membukukan mimpi-mimpinya tapi belum disebarkan), dan ditambah lagi dengan simpatinya hampir seluruh kaum muslimin di dunia kepada kami dan ditambah lagi dengan berbagai berkah yang dirasakan umat manusia dengan adanya kasus kami. Maka semua ini sebagai tanda bahwasanya kami dalam keadaan baik, dan dibawah ridha Allah Ta’ala, meskipun orang-orang zindik dan kaum munafiqin serta sebagian orang yang mengaku salafy yakni salafy Luqmany (salafy binaan ust. Luqman bin Muhammad Ba’abduh) dan sejenisnya. Tidak menyukainya dan menyetujuinya, bahkan mereka melabel kami sebagai ahlul bid’ah, ahludh dhalal dan khawarij.

Sekarang perlu pembuktian siapa sebenarnya yang akhlulhaq dan siapa pula yang ahlul bid’ah? Kami ataukah Ustd. Luqman Ba’abduh dan kelompoknya? Pembuktian sebenarnya bisa dilakukan dengan berdialog dan adu hujjah secara terbuka –Insya Allah- dengan cara ini akan terbongkar dan menjadi jelas siapa yang ahlul bid’ah, atau minimal diketahui amalan-amalan dan paham-paham bid’ah yang menyelisihi Sunnah yang terdapat dalam kedua kelompok ini- jika memang ada. Tapi pembuktian dengan cara ini tidak mungkin dapat diwujudkan, sebab Ustd. Luqman Ba’abduh dan sejenisnya punya prinsip bahwa berdialog dengan orang atau kelompok yang mereka vonis sebagai ahlul bid’ah dilarang dalam agama, karena mereka menggunakan qaidah umum (dilarang bergaul dengan ahlul bid’ah).

Ana tidak mengerti prinsip yang nyeleneh ini diwarisi dari mana asalnya, apalagi terhadap manusia yang baru dianggap sebagai ahlul bid’ah dengan cara yang sembrono dan serampangan, yang sudah jelas-jelas ahlul bid’ah saja hatta ahlul bid’ah yang bukan dari kalangan ahlus sunnah waljama’ah –apalagi ahlul bid’ah yang dari kalangan ahlus sunnah waljama’ah (contoh pertama Syi’ah dan contoh kedua ‘asyairah), ulama salaf kita senantiasa siap berhujjah dengan mereka bahkan mencabar dan menantang berhujjah dengan mereka untuk membatalkan prinsip dan paham mereka yang batil. Contoh-contohnya banyak sekali kalau mereka mau menyadari buka saja Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, akan mereka temukan disana berpuluh-puluh dari hasil dialog & berhujjah secara terbuka atau murasalah. Ini salah satu contoh akhlak terpuji Imam-Imam Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam memvonis apakah suatu kelompok termasuk ahlul bid’ah atau tidak? Imam-Imam Ahlus Sunnah tidak pengecut seperti kecutnya Ustd. Luqman Ba’abduh, dia melempar lalu sembunyi tangan, dengan mengeluarkan tulisan-tulisan seperti buku “Mereka adalah Teroris”, dan makalah-makalah dalam Majalah Syari’ah dan sejenisnya yang isinya diamini dan disetujui oleh penguasa bahkan membela mereka, kemudian sesudah tersebar luas apa yang dikehendakinya termasuk menyesat-nyesatkan kelompok tertentu dan memvonisnya sebagai ahlus bid’ah, tapi bila kelompok tersebut ingin membela diri dengan mengadakan dialog dan adu hujjah secara terbuka tidak bersedia datang dan sembunyi, beginilah perangai mereka.

Maka karena prinsip dan perangai Ust. Luqman Ba’abduh dan sejenisnya seperti itu, tidak mungkin cara ini bisa ditempuh, maknanya tidak mungkin Ustadz Luqman Ba’abduh atau Ust. Sewed atau Ust. Ja’far Thalib dan sebagainya bersedia berhujjah secara terbuka dengan kami kalaupun ada fasilitasnya.

Oleh karena itu menurut ana satu-satunya jalan bagi umat untuk mengetahui siapa yang ahlul bid’ah adalah dengan menunggu jenazah kedua belah pihak bilamana mati dan diusung. Al-Iman Ahmad bin Hambali ra berkata: Katakanlah kepada ahli bid’ah, “antara kami dan antara kalian adalah jenazah-jenazah sewaktu lewat” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Abu Sahe bin ziyad dari Abdullah bin Imam Ahmad). (lihat Al-Bidayah wan Nihayah 10/369).

Diantara maksud ucapan pemimpin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Al Imam Ahmad bin Hambali tersebut, bahwasanya sedikit dan banyaknya penghantar jenazah dari kaum mukminin dan muslimin terhadap jenazah seseorang khususnya yang sedang berselisih atau diperselisihkan ummat apakah dia itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid’ah adalah salah satu cara untuk menentukannya.

Dan ucapan Imam Ahmad tersebut sungguh telah dibenarkan Allah Ta’ala yang mana ketika beliau wafat jenazahnya dihadiri dan dishalati oleh jutaan manusia. Satu juta hingga dua juta lima ratus ribu. Sedangkan lawan Imam Ahmad yakni Qodhi Ibnu Abi Daud sebagai hakim agungnya pemerintah saat itu, yang mempunyai I’tiqad batil bahwa Al-Quran adalah mahluk, sedangkan menurut Imam Ahmad yang benar bahwa Al-Quran adalah kalamullah bukan mahluk dan pada saat itu pemerintah memihak dan mengikuti paham sesatnya Ibnu Abi Daud karena dianggapnya paham ini yang benar- maka gara-gara dia inilah Imam Ahmad ditangkap, dirantai dan diborgol serta dijebloskan ke dalam penjara dan dicambuk puluhan kali dan setiap kali cambukan disertai dengan maki-makian, Imam Ahmad dipanggil sebagai musuh Allah dan disuruh bertaubat. Ini juga termasuk hal yang meyakinkan khalifah Mu’tashim bahwa yang benar itu Ibnu Abi Daud bukan Imam Ahmad. Artinya I’tiqod bahwa Al-Quran adalah mahluk itu yang benar, sedang yang meyakini kalamullah adalah salah alias ahlul bid’ah atau aludh dhalal bahkan selalu disebutnya sebagai ahlusy syirk karena menganggap ada sesuatu yang bukan mahluk selam.

Keadaan khalifah Mu’tashim seperti ini disebut dalam syara’ sebagai orang yang salah takwil, maka meskipun khalifah telah melakukan kekufuran yang besar yaitu menganggap Al-Quran adalah mahluk, Imam Ahmad tidak mengkafirkannya dan tidak juga keluar dari taat kepadanya dan tidak memberontaknya atau berusaha menggulingkannya, sebab pada diri khlaifah ada penghalang jatuhnya pengkafiran terhadapnya karena salah takwil. Jadi khalifah tersebut keinginannya membela agama tapi salah dan kekeliruan ternyata yang dibelanya bukan dari agama Allah.

Inilah contoh penghalang takfir (pengkafiran) karena salah takwil, tapi sekarang banyak manusia khasnya yang mengaku salafy manipulasi dalam hal ini, katanya penguasa sekarang juga salah takwil meskipun melakukan berbagai kekufuran tidak kafir. Padahal kalau mau menggunakan sedikit saja akal sehatnya tidak mungkin berkesimpulan seperti itu, sebab yang khalifah tadi bermaksud membela Islam sedang ini enggan dan tidak mau Islam bahkan dengan terang-terangan menolak syareat Islam bahkan lebih dahsyat mencela sesuatu dari Islam yang berarti mencela Allah dan Rasul-Nya. Maka ambilah pelajaran!

Kembali cerita tentang Qodhi Ibnu Abi Daud, ketika dia mati ternyata yang mengiring jenazahnya hanya segelintir manusia, itupun kebanyakannya para pembantu Sulthan (lihat Al-Bidayah wan Nihayah 10/367-369 dan 14/150). Disini Alah Ta’ala tunjukkan kepada manusia bahwasanya yang ahlul haq adalah Imam Ahmad dengan dihadirinya dan dishalatinya jenazah beliau oleh jutaan kaum muslimin, sebaliknya Ibnu Abi Daud karena jenazahnya hanya dihadiri oleh segelintir manusia itupun pihak yang menyokong penguasa bahkan mayoritas dari segelintir itu para pembantu Sulthan maka berarti dia adalah ahlul bid’ah.

Dan ucapan Al-Imam Ahmad bin Hambali tersebut dibenarkan dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu fatawa beliau- afwan sewaktu ana menulis risalah ini, terlupa tempatnya, tapi ana telah membacanya, dan tidak sempat mencarinya- dan Allah Ta’ala juga membenarkan Ibnu Taimiyah dalam hal ini sebagaimana telah membenarkan pada diri Imam Ahmad.
Dan kasus kedua Imam yang agung ini hampir sama, sedikit saja berbeda. Keduanya diuji dengan qodhi-qodhi penguasa yang mengikuti paham bid’ah dalam hal tertentu yang berhubungan dengan I’tiqod, kalau Imam Ahmad dalam masalah kholgil Qur’an sedang Syaikhul Islam dalam masalah Asma dan Sifat Allah Ta’ala termasuk masalah Istiwa’ (bersemayam) diatas Arsy’.

Maka beliaupun akhirnya masuk penjara gara-gara ulah para qadhi dan sebagainya, hingga beliau meninggal dipenjara sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Walaupun beliau mati didalam penjara penguasa, tapi jenazah beliau dihadiri dan dishalati hampir seluruh umat manusia, jutaan kaum mukminin dan mislimin yang hadir, kata Imam Ibnu Katsir ra yang tidak hadir hanya tiga orang saja, Ibnu jumlah, Ash-Shadr dan Al-Qafjari, mereka tidak datang karena takut keselamatan diri mereka, sebab mereka dikenal masyarakat umum orang yang paling memusuhi Syaikhul Islam, maka mereka bersembunyi karena khawatir diamuk masa (Ibid 14/152).

Nah sekarang kasus antara kami dan Ust. Luqman Ba’abduh, Ust. Ja’far Thalib dan sejenisnya hampir serupa dengan kasus kedua Imam yangung tersebut, bedanya pemerintah pada zaman kedua Iman itu adalah pemerintahan Islam yang berhukum dengan syare’at Allah, tapi mengikuti paham Ahlul Bid’ah dalam beberapa hal. Sedang yang sekarang ini berhukum dengan syare’at thogut, dan hampir dalam setiap masalah mengikuti orang-orang kafir barat.

Kami (Ali Ghufron @Mukhlas, Imam Samudera & Amrozi) dan mereka (Ust. Luqman Ba’abduh, Ust. Ja’far Thalib, dsb) sama-sama dikenali oleh kaum muslimin khususnya kaum mukminin dan yang terpelajar, mereka benar-benar mengetahui bahwa ustadz-ustadz tersebut senantiasa mengolok-olok kami dan menjuluki dengan julukan-julukan yang tidak sepatutnya, seperti ahlul jahl, ahludh dhalal, ahlul bid’ah, khowarij dan sebagainya., sebaliknya mereka memberikan gelar kepada penguasa yang tidak sepatutnya seperti amirul mukminin, shuthanullah fil ardhi, dan sebagainya.

Maka saksikanlah nanti bila kami dan mereka mati, jika ternyata jenazah kami lebih banyak dihadiri dan disholati kaum mukminin dan muslimin (menurut Al-Iman An-Nawawi pendapat yang rajih (paling kuat) bahwa tawanan muslim yang dibunuh masih tetap dishalati-kitabull majmu’ Syahrul Muhadzdzab lisy syiro’zi –oleh An-Nawawi 5/222). Sedang jenazah mereka hanya dihadiri oleh segelintir manusia itupun kebanyakannya pro dengan penguasa, maka berarti kami yang ahlul haq dan mereka yang ahlul bid’ah dan begitu juga sebaliknya.

Dengan cara ini –Insya Allah- masalah yang mereka perselisihkan dengan kami akan menjadi jelas mana yang pendapatnya benar mana pula yag batil. Masalah yang kami perselisihkan dengan kami akan menjadi jelas mana yang pendapatnya benar mana pula yang batil. Masalah yang kami perselisihkan sebenarnya tidak terlalu banyak, bisa disimpulkan dalam tiga hal saja yaitu: 1. Jihad, 2. Siyasah Syariyyah, 3. Sebagian dari masalah Iman.

Kemudian mereka dalam menyikapi perselisihan ini kami nilai seperti Ifrath (berlebih-lebihan), karena dengannya secara sembrono dan serampangan kami di vonis dan di label sebagai ahlul bid’ah dan khiwarij bahkan termasuk yang ditahyin (ditentukan) sebagai anjing-anjing neraka, dan yang lebih super lagi disenaraikan sebagai musuh utama mereka yang kapan saja boleh diserang dan diperangi yang penting ada perintah dari ulil amri. Tapi sebaliknya untuk perang melawan orang-orang kafir termasuk kafir harbi, sekarang ini belum sampai marhalahnya sebab kaum muslimin lemah katanya, namun nyelenehnya dalam masa yang sama pemerintahan-pemerintahan di negara-negara kaum muslimin yang memiliki beratus-ratus ribu pasukan dengan segala persenjataan yang canggih itu dianggapnya sebagai pemerintahan Islam dan daulah Islam, jadi sebenarnya yang lemah itu salafy Luqmany dan sejenisnya ataukah kaum muslimin keseluruhannya?

Walaupun mereka menganggap kami sebagai musuh utama mereka, tetapi alhamdulillah kami tetap menganggap mereka sebagai saudara seiman dan seislam, meskipun kami megetahui dengan yakin ada beberapa bid’ah pada mereka termasuk amalan yang kufur, misalnya berwala’ kepada thoghut, kami nilai mereka salah dan keliru dalam hal ini karena salah takwil, sebab dari segi lahirnya mereka betul-betul Salafy – nama ini juga yang memperdayakan mereka sehingga pendapat mereka sendiripun dirasakan sebagai pendapat salaf.

Kami tidak mengaggap mereka musuh bahkan kami doakan mereka sebagaimana Al-Imam Ahmad berdoa: “Ya Allah! Barangsiapa dari umat ini yang berdoa diatas selain kebenaran sedang dia menyangka bahwasanya dia diatas kebenaran, maka kembalikanlah dia kepada kebenaran agar dia menjadi Ahlul haq,” (Al Bidayah wan Nihayah 10/356).

Saudaraku Seiman yang Dikasihi.

Demikianlah yang perlu ana sampaikan sementara ini, ana sampaikan agar antum lebih mengetahui lagi tentang keadaan kami, dan dengannya dapat menambah kesyukuran dan kegembiraan antum –Insya Allah-. Dan doakan agar kami senantiasa sabar dan istiqomah diatas yang haq dan sampaikan salam kami kepada semua kaum muslimin yang mungkin.

Akhirnya ana ucapkan ...

“...Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup, Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepadaNya (pula) aku kembali.” (QS. Hud(11): 88).

“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung” (QS. Ali Imran (3): 173). “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS. Al-Anfal(8): 40).

Wassalamu ‘alaikum Warrahmatullah Wabarakatuh [!--more--]

Saudaramu yang fakir kepada rahmat Allah dan Mengharap Maaf dan Ampunan-Nya)

Ali Ghufron bin Nurhasyim @Mukhlas)

Bumi Allah, Lapas Batu Nusa Kambangan 10/11/1428H/19/11/2007M.



No comments:

Translate