Wednesday, March 18, 2009

Setitik Embun dari POSO

Sebuah Kisah Para Mujahid di tanah POSO
Abu Hamzah
Allah SWT memberikan kesempatan saat umat Islam bangsa Indonesia terpuruk dalam perjuangan angan-angan dan kepalsuan. Hadirnya bumi jihad di Ambon dan Poso setidaknya memberikan angin segar bagi para pemuda yang rindu akan Jihad Fii sabilillah. Hal itulah yang terjadi padaku .
Saat itu hati berdegup kencang, darah megalir deras dan tubuh terasa panas melihat saudara muslim kita dianiaya dengan keji dan sadis. Sekalipun hanya menyimak dalam foto dan video namun gambaran itu selalu menjadi bayangan dan kegusaran hingga dadaku terasa sesak karena menahan gejolak dan air mata . Betapa tidak, cobalah anda bayangkan jika bapak-bapak, ibu-ibu, isteri-isteri, saudara-saudara, anak-anak dan sahabat-sahabat kita dibakar, dibunuh atau diperkosa layaknya kepada binatang bahkan lebih dari itu !!, apa yang anda rasakan ??.! Itulah yang kami rasakan saat itu, dimana kaum kafir (laskar merah) menghancurkan segalanya bukan hanya harta benda yang menjadi sasaran tetapi yang paling membuat hati bergejolak adalah ketika mereka telah menghina,mencaci maki Allah SWT dan Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW dengan perkataan-perkataan dan slogan yang membuat hati terbakar!!!....
Pantaskah semua ini kita diamkan dengan alasan bahwa itu semua bukan perjuangan dan tanggungjawab kita ?? atau pantaskah kita beropini bahwa itu adalah salah mereka ?? padahal semua alasan tersebut hanya legitimasi dari ketakutan dan rasa tidak mau susah hidup alias tidak mau berjihad. Jujur saja saat itu akupun mempunyai perasaan takut, ngeri dll seperti anda, apalagi tidak ada sanak suadara disana, tapi keimananku, tanggungjawabku dan perasaan berdosa bercampur hingga aku memutuskan untuk berangkat walau hanya berbekal niat ikhlas karena Allah SWT dan sedikit uang untuk 1 x perjalanan (Rp.500.000) saja itupun diberikan dari seorang sahabatku yang sangat perduli atas semua yang terjadi.
Sepanjang perjalanan yang kumiliki hanyalah do'a dan do'a agar aku tetap teguh pada niatan ini. Sesekali aku melihat lautan yang indah, seolah aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali. Sebagai manusia biasa kadang aku teringat akan orangtua, saudara dan kawan-kawanku. Namun semua itu dapat ditepis dengan keinginan membela saudaraku di bumi jihad POSO.
Allohu Akbar !!.... kata itulah yang memberi semangatku bergelora untuk mencari syahid, hingga tidak terasa perjalanan ini telah sampai di "Daerah Umat Muslim Poso".
Pertama ku menginjakkan kaki terasa indah seolah disambut oleh hangatnya mentari . Mungkin agak sedikit berbeda,karena langkah-langkah kaki di medan jihad merupakan hitungan bekal akherat hingga semestinya tawadhu dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tiada berguna.
Yang paling menjadi masalah adalah saat itu hingga sekarang aku belum bisa melepaskan kebiasaan merokok, sudah beberapa kawan mengingatkanku tetapi aku selalu mengatakan aku belum bisa...., tetapi di depan mereka aku menghormatinya. Ada untung ada ruginya, untungnya dengan hal tersebut ternyata lebih dapat diterima akrab oleh masyarakat muslim disana bahkan menjauhkan asumsi bahwa "para pendatang" itu ustadz semua, sehingga mereka segan untuk berbincang atau bertegur sapa. Ruginya ya selalu kena marah komandan, tapi itu semua merupakan bumbu dari perjalanan ini. Yang terpenting diantara kami saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta menghilangkan ashobiyah-ashobiyah atau firqoh-firqoh terutama pada masalah fiqih ibadah sehari-hari dan kepemimpinan.


Malam Pertama
Malam itu udara terasa dingin, aku ditugaskan untuk berdiam dalam salah seorang rumah penduduk seorang diri. Sekalipun dalam bahasa kadang ku tak mengerti namun aku tetap menjaga kesopanan dan aturan daerah tersebut, diantaranya aku harus beribath baik di rumah penduduk atau beribath bersama penduduk lokal pada waktu tertentu.
Setelah banyak kami berbincang maka aku meminta izin kepada tuan rumah untuk merebahkan sejenak tubuhku supaya lebih rirex. Aku diperlakukan layaknya seorang tamu agung, makanan, kopi, rokok semua tersedia di meja bahkan kamarpun disediakan. Padahal aku melihat tuan rumahnya sendiri tidur seadanya tanpa selimut dll alias gelar tikar. Semua itu membuat aku malu hingga walau di kasur yang lebih empuk aku merasa tidak kerasan, sampai tengah malampun aku masih belum bisa memejamkan mata. Tiba-tiba Deeeeeeemmmm........., bergetar kaca dan tanah berguncang seperti ada gempa dengan dentuman suara keras yang belum pernah aku dengar sebelumnya, bergegas aku keluar kamar menuju pintu . Sekalipun harus meraba-raba karena gelap aku mesti bersiap menghadapi kemungkinan yang terjadi. Saat aku di luar rumah anehnya tak seorangpun yang ke luar rumah, bahkan tuan rumah tempatku berdiampun anteng-anteng aja alias tertidur pulas, selang ku bertanya-tanya dalam hati tiba-tiba Deeeemmmmmm......., dentum suara keras itupun bergema lagi bersama suara angin dingin yang berhembus menyibak daun-daun pohon kering hingga membuat suasana semakin mencekam....namun semua itu sirna tatkala salah seorang ikhwan yang berada di pos lain memberitahukan bahwa itu adalah tradisi para mujahiddin untuk menyambut kedatangan saudara seiman, seakidah dan seperjuangan. Subhanallah ...
Pada hari-hari berikutnya aku sudah terbiasa dengan semua itu bahkan semakin menambah gairah dalam jihad. Semula aku membayangkan susahnya hidup di medan jihad, ternyata Allah SWT malah memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Bayangkan oleh anda jika makan, minum semua terpenuhi bahkan lebih mudah didapatkan sampai - sampai aku dapat memetik buah jeruk, durian, singkong besar dll di kebun-kebun yang luas tanpa batas yang dimiliki para ikhwan setempat. Padahal sebelum terpilihnya poso sebagai bumi jihad sama saja merupakan daerah sekuler yang jauh dari ajaran Islam. Tetapi Allah SWT membalikkan keadaan sekejap mata hingga seolah aku hidup dalam masyarakat yang berasaskan Islam, rukun, saling membantu, saling menghargai, taat beribadah dan bergelora semangat mempertahankan dan menyelamatkan umat Islam serta daerah-daerah kaum muslimin yang dirusak dan dijarah oleh kaum kafirin sebelum terjadinya perjanjian Malino.
Jika aku berjalan di tengah masyarakat maka bukan hanya orang tua yang menyapa atau memberi hormat atau menawarkan makanan dan kopi bahkan anak-anakpun tak segan membantu membawakan barang-barangku dan anak perempuan bersegera lari ke rumahnya dan memakai jilbab karena merasa malu jika bertemu dengan kami. Subhanallah semua itu indah....tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Sebenarnya aku bukanlah salah satu yang datang kesana, ada ratusan bahkan mungkin ribuan para mujahid yang datang baik dari dalam negeri maupun luar negeri, namun tugasku hanya pendek saja yakni menjaga daerah kaum muslimin dari serangan kaum kafirin yang pernah menyerang dan merusak daerah tersebut, namun berkat kuasa Allah SWT semua itu bisa kami hancurkan. Alhamdulillah. Sekalipun jumlah kami sedikit saat itu namun dapat menggetarkan musuh-mush Allah SWT, terbukti ketika mendengar kedatangan kami, mereka hampir sebagian besar mengungsi ke daerah pusat komando mereka tempat Tibo cs bermarkas. Hal ini menyebabkan kami lebih sering membina masyarakat dan berdakwah saja karena saat itu mereka sudah enggan "bertemu Kami" para mujahid dan masyarakat yang disebut mujahid daerah atau mujahid lokal, sedang kami disebut mujahid pendatang. Itu hanyalah istilah intinya kami sama-sama bahu membahu menegakkan kalimat ALLAH SWT di bumi Jihad Poso.
Ada beberapa kisah yang sangat menggugah hati untuk menambah keyakinan akan keimanan kami disana. seperti yang dituturkan oleh seorang ikhwan bahwa saat para kafirin menyerang dari berbagai penjuru dengan kekuatan yang penuh sedang di daerah kami hanya berada sekitar 17 orang yang siap syahid terjadilah sesuatu yang sangat mengherankan para musuh Allah tersebut. Berdasarkan informasi, mereka malah lari berbalik dan lari tunggang langgang sambil membawa saudara-saudara mereka yang mati tak tahu sebabnya. Ada yang mengatakan tertembus peluru para mujahid namun adalagi yang mengatakan bahwa mereka berhadapan dengan ribuan bahkan jutaan para mujahiddin yang berbaju putih, padahal jumlah para mujahid yang bertahan saat itu hanya 17 orang saja, bahkan setelah kejadian tersebut para mujahid berbalik mengejar mereka sampai ke kampung-kampung para kafirin dan membalas mereka dengan balasan yang setimpal.
Ada cerita lagi ketika para kafirin Tibo cs hendak menyerang dengan taktik "menghabiskan makanan di piring" atau menyerang dari arah gunung-gunung di sekliling daerah kami, maka yang terjadi mereka malah susah sekali untuk sampai ke tempat kami karena selalu salah jalan hingga harus beberapa kali naik gunung dan hasilnya mereka malah kembali lagi ke kampungnya masing-masing. Subhannallah semua itu hanyalah satu pertanda janji ALLAH SWT.
Hari demi hari aku lewati, berjalan seiring semilir angin pagi menembus dedaunan yang berseri, saat itu aku berfikir untuk tidak kembali. Ada beberapa hal yang mesti dimengerti bahwa situsi kita saat ini sungguh berbeda dengan saat itu. Ada cerita sebelum kedatangan kami ada seorang Mujahiddin dari negeri jauh yang sangat baik dalam beribadah dan beraqidah, sampai ketika ia menemukan ada patung-patung tempat penyembahan (ibadah) orang hindu bali, ia hancurkan seorang diri dengan martir penghancur batu. Aku hanya bisa melihat puing-puing patung berserakan dan teringat akan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Dan aku hanya bisa membayangkan kekuatan sang mujahid tersebut sedang aku meraba patung tersebut semua dari batu yang sangat keras dan susah sekali untuk dipecahkan oleh tangan orang biasa tetapi dapat hancur berkeping-keping. Semua itu hanya kuasa Allah SWT. Kemudian aku menemukan satu hal yang luar biasa, ketika aku bertugas di daerah perbatasan, tiba-tiba serentetan peluru menghampiri kami, untungnya kami telah mempersiapkan parit tempat berlindung (bertahan). Suasana sore itu terasa lebih dari sore-sore yang lain, tegang, senyap bahkan aku sempat berfikir "mungkin saat inilah aku pulang ke rahmatullah". Anda dapat bayangkan kami bertiga hanya memegang "alat rakitan" sedang mereka "alat otomatis"... terlihat dari peluru yang dimuntahkannya. Namun itu semua tidak membuat kami gentar sekalipun hanya bertiga kami tetap siaga menanti serangan mereka. sejam-dua jam kami di dalam parit, namun mereka hanya terdengar tertawa terbahak-bahak dan kembali melesatkan butiran-butiran peluru tanpa diketahui si empunya peluru tersebut. Aku berusaha menanamkan satu butir peluru dalam alat rakitan namun hal itu dicegah oleh sahabatku, ditakutkan malah salah sasaran dia bilang. karena si penembak belum terlihat batang hidungnya. Maka aku pun menurutinya. Selang kami bersiaga di dalam parit tiba-tiba seorang anak perempuan kecil menghampiri kami sambil menunjuk sebuah pohon jeruk yang berada tak jauh dari parit. Ia berkata : "pengen jeruk...", sontak kami mengambil anak itu, namun akhirnya karena ia merengek terus maka dengan sangat berhati-hati aku mengambilkan jeruk bali yang ia inginkan. Semua terjadi diluar dugaan kami setelah anak kecil itu pulang entah kemana Laskar Kristus yang tertawa terbahak-bahak pun menghilang. Suasana menjadi lega. Belum lama waktu berselang ketika kami memutuskan untuk menyerang, dari arah musuh terlihat seorang anak laki-laki umur 10 tahunan berjalan menghampiri kami, Ia berkata :"Dan (Komandan), Musuhnya udah pergi..., tadi aku sendirian kesana sudah tidak ada di POSnya. Subhanallah, Ia sendirian tanpa pengawasan siapapun hendak berperang dengan thogut yang bersenapan lengkap sedang ia hanya bersenapan rakitan.

1 comment:

Anonymous said...

Teroris lebih jahat dari koruptor, mereka berbuat kejahatan bertopeng agama. Aku sebagai muslim tak rela islam di rusak teroris anjing...

Translate